Noir

Marindya
Chapter #2

[Bagian Satu] Rumah yang Berbeda

Di dunia yang ini, aku melihat sebuah rumah yang hancur. Ayah pergi demi kembang lain yang warnanya lebih cerah. Ibu menangis, berteriak, lalu pergi entah kemana. Bocah laki-laki berdiri dengan robot mainannya yang hancur berkeping. Seorang anak gadis yang rambutnya terlihat berantakan, dengan banyak darah di pergelangan tangannya.

Di dunia yang ini, gadis itu adalah gadis gila yang aneh.

***

Dulu waktu masih sangat muda, aku pernah ingin segera menjadi dewasa. Kala itu, aku berpikir menjadi orang dewasa sangat menyenangkan. Tidak perlu ada yang memaksaku berhenti bermain untuk tidur siang, aku bisa menonton serial TV favoritku tanpa terganggu dengan jam-jam dimana aku harus pergi ke masjid untuk mengaji, atau ... aku bisa memakan semua jenis makanan tanpa ada yang membatasiku. Orang dewasa tampak selalu bisa melakukan apa saja yang mereka mau— setidaknya begitu menurutku. Namun, semua andaiku kala itu ternyata salah besar. Menjadi dewasa ternyata tidak begitu menyenangkan.

Kabar buruknya adalah; aku mulai ingin kembali ke masa-masa itu, masa dimana aku masih sering menangis karena dipaksa untuk tidur siang. Namun, tidak peduli seberapa keras aku memohon, sialnya waktu tidak pernah bergerak mundur. Dunia tidak pernah peduli soal bagaimana babak belurnya aku setelah dihantam proses menuju pendewasaan. Meski aku sudah nyaris kehabisan tenaga, dunia masih saja berputar dan waktu masih saja berjalan seolah semuanya baik-baik saja. Aku pernah memohon untuk mati, bahkan lebih parahnya aku memohon untuk kehancuran dunia yang dipenuhi dengan manusia-manusia memuakkan ini. Namun, kala itu sepertinya Tuhan masih senang bermain-main dengan hidupku. Jadi tidak peduli seberapa lebamnya hidupku dihantam kenyataan, Tuhan tetap tidak mau memanggilku pulang.

Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu harus memulai kisah ini dari mana. Hampir semua orang yang mengenalku tahu soal kisah hidupku, tapi mereka tidak pernah tahu apa yang ada jauh di dalam kepalaku. Haruskah aku mulai dari hari dimana hidupku masih baik-baik saja dan bahagia, seakan aku adalah tokoh utama dalam dongeng kerajaan? Atau aku harus memulainya dari hari dimana aku kembali ke desa tempat aku dibesarkan? Ah ... pilihan kedua sepertinya terdengar lebih menarik.

Hari itu hujan tampaknya baru saja mengguyur desa. Meski langit sudah terlihat mulai cerah, tapi di beberapa bagian masih terlihat sekumpulan awan yang sedikit kelabu. Aku berjalan memasuki pelataran rumah yang dulu aku tinggali. Pagarnya yang berwarna kuning sudah tampak berkarat di beberapa bagian. Saat aku membukanya, terdengar decitan yang lumayan mengganggu telinga. Bau besi tua tercium begitu aku mendorong salah satu bagian dari pagar itu. Meski begitu, pagar rumah itu terlihat masih cukup kokoh. Mungkin karena dibuat dengan besi terbaik, atau karena dulu pagar itu dirawat dengan penuh kasih. Aku tidak tahu, yang jelas pagar itu masih tampak kuat kecuali warna kuningnya yang mulai memudar dan berkarat.

Pada bagian beranda rumah, ada satu kursi panjang yang terbuat dari bambu. Aku memilih untuk duduk di sana, sambil memperhatikan halaman yang berada di hadapanku. Kalau dibandingkan dengan milik para tetangga, halaman rumah itu jauh lebih luas. Waktu aku masih sangat muda, aku pernah duduk di beranda itu untuk menunggu Ayah pulang dari bekerja, sambil berhitung dari satu sampai seratus.

Pada hitungan ke seratus, jika Ayah masih belum terlihat dari pagar rumah, aku akan kembali ke hitungan pertama dan bergumam, “kalau aku hitung sampai seratus lagi, Ayah pasti datang!”

Di hari lain ketika aku berhasil mencabut gigi pertamaku dengan bantuan tangan Mama dan benang panjang, aku menunggu Ayah dengan perasaan meledak-ledak. Kala itu, Mama mengikat gigiku yang sudah goyang dengan sehelai benang. Katanya, Mama akan menariknya pada hitungan ketiga. Aku menutup mataku pada hitungan pertama, dan bersiap untuk menarik napas pada hitungan kedua. Namun, belum sempat aku menghembuskan napasku, Mama sudah menarik benangnya dengan kencang hingga gigiku berhasil tercabut. Benar, Mama menarik benangnya pada hitungan kedua, ketika aku sama sekali belum sepenuhnya siap. Namun, hari itu aku bangga pada diriku sendiri, karena gigiku berhasil tercabut tanpa tangisan.

Lihat selengkapnya