Noir

Marindya
Chapter #3

01 || Suara Dari Dalam Kepala

Apa kamu tahu bahwa bodoh dan polos hanya berjarak satu garis tipis? Diantara keduanya, aku adalah yang pertama. Aku gadis yang bodoh. Sudah sering kudengar kalimat itu dari mulut Mama. Ketika nilai di raporku berwarna merah, atau ketika aku sulit memahami materi yang sedang kupelajari, aku akan mendengarkan kalimat-kalimat itu— ‘kamu itu bodoh’, ‘Arini gadis bodoh’, ‘apa isi kepalamu itu hanya kotoran?’. Namun jangan khawatir, sebenarnya Mama juga menyayangiku. Hanya saja, terkadang ia sulit mengendalikan ucapannya ketika sedang marah, dan sialnya kalimat itu justru melekat dalam kepalaku. Arini gadis yang bodoh.

Aku memiliki beberapa teman dekat di sekolah, aku juga tidak kesulitan untuk berteman dengan siapa saja. Jadi, aku tidak begitu peduli pada nilai-nilaiku. Aku tidak begitu peduli pada angka-angka yang tertulis di raporku. Aku bahagia, dan itu sudah cukup untukku. Lagi pula, tidak semua nilai raporku berwarna merah. Terkadang, itu hanya nilai matematika, atau nilai fisika. Sejak kecil, Mama memang cukup terobsesi dengan angka yang tertulis di rapor sekolahku. Katanya, ia malu pada teman-teman Ayah jika nilai sekolahku jelek. Aku bisa memakluminya, karena sekarang teman-teman ayahku bukan orang-orang sembarangan. Sementara Ayah, dia tidak terlalu peduli pada nilai-nilai sekolahku. Ia hanya ingin aku tumbuh menjadi gadis yang kuat. Gadis yang tidak mudah menangis, atau gadis yang kokoh meski diterjang badai. Anak Ayah tidak boleh menangis. Ayah tidak suka melihat anak gadisnya menangis. Jadi entah sejak kapan, aku tidak pernah menangis lagi.

Teman-temanku bukan gadis-gadis populer di sekolah. Mereka adalah anak-anak yang biasa-biasa saja— tidak terlalu pintar, tapi juga tidak bodoh. Namun, jika kamu berpikir bahwa aku memiliki kehidupan sekolah yang menyenangkan, kamu salah besar. Aku adalah salah satu gadis yang menjadi sasaran gadis-gadis populer yang berada di satu tingkat di atasku. 

Memangnya orang tua kalian tidak memberikan uang saku? Kalian semiskin apa, sih, sampai minta-minta gini? Bahkan orang-orang miskin, pun, malu untuk meminta-minta seperti kalian!

Tentu saja kalimat-kalimat itu hanya aku ucapkan dalam hati. Aku terlalu malas untuk berurusan lebih jauh dengan kakak kelas yang mengaku bahwa mereka adalah penguasa sekolah. Jadi yang bisa aku lakukan lagi-lagi hanyalah merelakan uang saku milikku hari itu. Aku tidak tahu, ada berapa banyak orang yang mereka rampas uang sakunya selain aku, tapi yang jelas mereka selalu datang setiap hari untuk mengambil milikku. Untungnya, mereka cukup punya hati untuk tidak merampas semuanya, mereka masih menyisakan sedikit untukku. Tunggu! Apa itu bisa disebut keberuntungan?

Aku tidak pernah mengadukan hal ini pada orang tuaku. Mama pasti hanya akan berkata, ‘kamu bodoh! Harusnya kamu lawan mereka, jangan jadi gadis dungu yang diam saja meski ditindas!’. Setidaknya, itu benar— aku memang gadis dungu. Teman-teman dekatku juga tidak mengetahui hal ini. Mereka tidak tahu bahwa aku menjadi sasaran perundungan dari gadis-gadis itu. Alasannya sederhana. Aku tidak ingin mereka menjauhiku dan aku berakhir dikucilkan seperti anak-anak lain yang tidak memiliki teman satupun. Terkadang, kehidupan sekolah memang cukup memuakkan untukku.

“Lawan mereka, Arini! Ayah bilang kamu harus jadi gadis yang kuat!”

Sialan! Suara-suara aneh itu datang lagi. Aku tahu itu adalah suara-suara yang datang dari diriku yang lain. Namun, kadang suara-suara itu cukup mengganggu hingga membuat kepalaku pening dan aku ingin memecahkannya. Dan pada saat-saat seperti ini, dadaku akan berdegub cepat, keringat dingin akan menguasai telapak tanganku dan tubuhku akan mulai bergetar. 

“Arini, kamu tidak ikut kita ke kantin? Kenapa diam saja?” Suara dari salah satu teman dekatku berhasil menyadarkanku sepenuhnya. Aku kembali pada kenyataan dimana aku sedang duduk pada bangku di dalam kelas, sambil meremat ujung rok sekolah yang aku kenakan.

Lihat selengkapnya