Aku tidak tahu, sejak kapan tepatnya aku tertidur. Namun ketika aku membuka mata, aku melihat jam pada meja belajarku menunjukkan pukul tujuh malam. Aku terbangun dengan perasaan gamang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadaku, tapi aku tidak bisa menjelaskan perasaan apa itu. Entahlah, sepertinya terbangun pada jam-jam seperti itu memang membuat perasaan menjadi carut-marut. Keadaan kamarku cukup gelap, karena aku sama sekali belum menyalakan lampunya. Mungkin karena tidur pada jam yang bukan seharusnya, kepalaku terasa sedikit pusing. Ada dengung yang lumayan mengganggu di kedua telingaku. Setelah mengabaikan semua ketidaknyamanan dalam diriku, aku beranjak dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar.
Di ruang tengah, aku bisa melihat Ayah sedang duduk. Untuk alasan yang tidak aku ketahui, wajahnya tampak gusar. Ayah bahkan tidak menyadari eksistensiku di sana. Mencoba tidak peduli, aku duduk pada kursi yang terletak tepat di dekat televisi. Dari kursi itu, aku bisa melihat Mama yang sedang duduk bersandar di ranjangnya. Rumah kami memang tidak terlalu luas, jadi aku bisa dengan leluasa melihat ke arah kamar milik Mama. Aku tidak tahu Edgar di mana. Sepertinya, nenekku sudah membawanya pergi entah ke mana.
Selalu seperti itu. Ketika Ayah dan Mama bertengkar, Nenek akan membawa Edgar menjauh. Sementara aku, harus mendengar seluruh perdebatan mereka. Bahkan tak jarang aku mendengar mereka saling berteriak, menyalahkan satu sama lain. Sendirian. Aku menghadapi itu semua sendirian, dan aku tidak boleh menangis. Aku harus berpura-pura tidak peduli. Menutup telinga di dalam kamarku, atau terus fokus pada layar televisi. Apa pun itu, asal jangan menangis, atau Ayah akan marah.
Di dalam kamar, aku melihat Mama memberiku isyarat untuk berbicara dengan Ayah. Sungguh, wanita dewasa itu meminta anak berusia 14 tahun untuk menyelamatkan pernikahannya, dengan sebuah kalimat yang sama sekali tidak bisa keluar dari mulutku. Aku melirik sekilas pada Ayah, sebelum akhirnya meremat tanganku sendiri hingga buku jariku memutih.
“Kenapa Ayah selingkuh?” tanyaku dengan suara gemetar, “aku tidak mau Ayah menikah lagi. Aku tidak mau Ayah dan Mama cerai.”
“Diam, Bodoh! Itu bukan urusanmu!”
“Jangan ikut campur urusan orang tua, Arini. Tugasmu hanya sekolah,” sahut Ayah tanpa melihatku sama sekali. Beberapa waktu belakangan, aku sama sekali tidak mengenali ayahku sendiri. Ia seolah menjelma menjadi orang yang berbeda. Ayah tidak pernah lagi meluangkan waktu untukku, bahkan kini ia tidak menatapku meski sedang berbicara denganku.
Aku tidak pernah memiliki ingatan buruk soal Ayah, tapi melihat bagaimana sikapnya beberapa waktu ke belakang, aku mulai kehilangan sosoknya. Aku bukan lagi putri Jasmine dari dongeng Aladin. Hanya seorang anak perempuan yang kehilangan arah dan tidak lagi tahu bagaimana hidup akan membawaku. Suara-suara dalam kepalaku bahkan lebih buruk beberapa waktu ini, tapi aku tidak bisa memberi tahu siapa pun, atau aku akan dianggap gila.