Hari-hari setelah kepergian Ayah benar-benar buruk bagiku. Aku tak ayal sebuah cangkang tanpa jiwa, yang dipaksa untuk tetap ceria dan terlihat normal seolah semuanya baik-baik saja. Orang-orang dewasa yang egois itu, berpikir bahwa hanya diri mereka yang terluka. Mereka tidak tahu, bahwa jauh dibawah keterpurukan mereka, ada anak-anak yang dipaksa untuk menerima keadaan tanpa diberikan kesempatan untuk memilih. Aku bahkan ragu, apakah diriku dan Edgar menjadi bahan pertimbangan mereka dalam mengambil keputusan. Yang aku yakini adalah, Mama hanya menyelamatkan diri dari pernikahannya yang mencekik, sementara Ayah— mungkin, menyelamatkan diri dari kebosanannya dalam hubungan rumah tangga itu.
Katanya, waktu bisa menyembuhkan luka. Namun, sepertinya hal itu sama sekali tidak berlaku bagiku. Buktinya, luka-luka yang ada dalam diriku kian memburuk. Mencekik, hingga membuat diriku kelelahan bahkan hanya untuk sekedar bernapas dengan semestinya. Suara-suara dalam kepalaku juga kian memburuk. Mereka senang menertawakan kehancuran diriku, meski terkadang aku juga mendengar mereka menangis dengan begitu pilu, atau marah hingga membuat kepalaku berdenyut hebat.
Beberapa waktu belakangan, aku sering menggunakan pakaian dengan lengan panjang demi menyembunyikan luka-luka pada lenganku. Aku tidak ingin Mama mengetahui soal luka itu. Bahkan di sekolah, aku selalu memakai jaket untuk menutupinya. Aku berpikir bahwa semuanya baik-baik saja selama aku menyembunyikannya. Namun, aku salah. Seorang guru konseling justru mengendus hal yang tidak wajar, sebab aku tidak pernah melepas jaketku. Hingga suatu hari, ia memanggilku ke ruangannya.
Seperti kebanyakan guru konseling, wanita paruh baya itu menanyai ini dan itu, hal-hal yang sungguh tidak ingin aku beberkan pada siapa pun. Ia bahkan memaksaku untuk menceritakan semua masalahku. Aku tahu, wanita itu tidak benar-benar peduli. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai guru konseling, yang memberi para murid solusi atas segala masalahnya. Kali ini, aku sungguh ingin tertawa keras.
Katakan padaku, apa kau bisa memberikan solusi atas masalah hidupku yang runyam ini?
Aku masih terdiam meski wanita paruh baya itu berkali-kali menanyaiku, sementara di hadapanku, ia menunggu jawabanku dengan sabar. Ruangan konseling hari itu terasa begitu sunyi, hanya terdengar denting dari jam dinding. Aku sungguh tidak tertarik sama sekali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Nak. Cerita saja sama Ibu, jangan dipendam sendirian.”
Sambil meremat jemari, aku terus menunduk dan memperhatikan bekas-bekas sayatan pada lenganku. Aku sendiri juga tidak tahu, sejak kapan tepatnya luka-luka di sana menjadi sebanyak itu. Aku kembali mengopek luka pada ujung jariku yang baru saja mengering, hingga luka itu kembali memerah dan basah.