Noir

Marindya
Chapter #7

05 || Lubang Hitam yang Semakin Kelam

Aku tercekik. Setelah obrolanku dengan guru konseling itu, Mama mengetahui segalanya. Ia tahu bahwa aku menyayat tanganku sendiri, ia tahu bahwa beberapa waktu belakangan ini aku sering melamun di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung. Namun, yang lebih memuakkan dari hal itu adalah pertanyaan yang Mama lontarkan. Setelah ia mengetahui semuanya, kupikir ia akan mengerti bahwa aku frustasi dengan riuhnya rumah kami. Kupikir ... ia akan membujuk Ayah untuk kembali pada kami. Nyatanya, ia justru bertanya mengapa aku melakukan semua itu. Mengapa aku menyayat tanganku seperti anak nakal, mengapa aku sering melamun dan tidak memperhatikan pelajaran di sekolah. Pada akhirnya, apa yang dikatakan oleh suara di dalam sudut kepalaku adalah benar, bahwa aku hanya memiliki dia. Semalam aku menangis di dalam kamarku. Namun, Gracia mati-matian menghiburku.

"Jangan dengarkan dia, Arini. Kamu kan masih punya kami. Kamu tidak sendiri, saya selalu ada bersama kamu," katanya dengan suara bergetar menahan tangis.

Sementara Maria, gadis itu tersenyum sinis. "Arini ini memang cengeng, Gracia. Percuma kamu hibur dia, cukup lihat saja sampai dia lelah sendiri. Dia tidak akan berhenti menangis hanya karena kamu suruh untuk berhenti!" katanya sinis. Dia memang selalu seperti itu. Diluar dingin, tapi jauh di dalam hatinya, Maria sama baiknya dengan Gracia.

Teman-teman dekatku di sekolah akhirnya mengetahui soal masalah yang ada di rumah. Iya, itu berkat guru konseling yang beberapa waktu terakhir terus saja memanggilku untuk memberikan petuah-petuah memuakkan. ‘Kamu pasti bisa’, ‘kamu harus tabah’, atau ‘masih banyak orang yang hidupnya lebih tidak beruntung darimu’, adalah kalimat-kalimat yang sering kudengar belakangan ini. Saat ini aku bahkan tidak sedang berada di posisi yang harus peduli soal betapa tidak beruntungnya orang lain, atau betapa bahagianya hidup mereka. Jadi kenapa aku harus membandingkan hidup siapa yang lebih beruntung?

Aku mencoba untuk abai pada segala hal yang terjadi belakangan ini. Tidak lagi peduli pada bagaimana orang akan memandangku, tidak lagi takut akan ditinggalkan oleh teman-temanku. Perlahan, aku menjadi semakin tenggelam dalam pikiran-pikiran apatisku. Aku membiarkan suara-suara dalam kepalaku semakin memburuk dan menyalak tak terkendali. Namun, tidak ada yang mengetahui hal itu. Mereka mengira bahwa pikiranku sudah cukup dewasa untuk akhirnya menerima segala situasi ini. 

Lalu, satu minggu setelah kejadian Mama yang mengetahui soal luka-luka pada lenganku, aku kembali dihantam kenyataan yang mengenaskan. Kupikir, tidak apa-apa Ayah meninggalkan kami, selama masih ada Mama di sisi. Kupikir, hidupku sudah akan berjalan normal bersama Mama dan Edgar. Namun aku salah besar, karena pada akhirnya Mama juga memilih untuk meninggalkanku. Mama pergi, tanpa membawaku. Aku ditinggalkan begitu saja tanpa peringatan, atau salam perpisahan.

Siang itu sepulang sekolah, aku menemukan rumahku begitu sepi. Aku tidak menemukan siapapun di sana. Kamar milik Mama bahkan kosong, tidak banyak barang seperti biasanya. Meski sebenarnya aku sudah mengetahui apa yang terjadi dengan kosongnya kamar itu, tapi batinku seolah menolaknya. Aku berkeliling ke setiap sudut rumah dan mencari keberadaan nenekku dan Edgar, berharap semoga mereka masih di sini bersamaku. Mataku perlahan memburam, sebab ada butiran bening yang sudah siap jatuh dari pelupuk mata. Bersamaan dengan semakin memanasnya kedua mataku, aku bisa merasakan butiran hangat mulai turun membasahi pipiku. Aku berjalan gontai menuju kamarku, dan menutup pintunya rapat-rapat. Lagi-lagi, aku ditinggalkan.

Lihat selengkapnya