Beberapa waktu belakangan, aku mulai membandingkan hidupku dengan orang lain. Aku mulai bertanya-tanya, mengapa harus aku? Mengapa harus keluargaku yang hancur, mengapa aku ditinggalkan, atau mengapa aku dilahirkan? Dalam bus yang aku tumpangi menuju sekolah, aku meraba dadaku yang entah mengapa terasa begitu sesak. Aku merindukan hari-hari dimana Ayah mengantarku dengan mobil kesayangannya. Aku merindukan hari-hari dimana aku menjadi putri Jasmine yang hidupnya bahagia. Di bangku bus paling belakang, aku memperhatikan semua penumpang pagi itu. Mereka saling mengobrol, melempar candaan satu sama lain, bahkan tertawa terbahak-bahak seakan tidak ada beban di pundak mereka. Mengapa hanya duniaku yang seolah berhenti? Mengapa hanya duniaku yang rasanya hancur?
Aku tidak tahu dimana Ayah tinggal, ia pasti sudah bahagia dengan keluarga barunya dan melupakanku. Para tetangga bahkan mengatakan bahwa Mama tidak benar-benar pulang ke desa asalnya, sebab tidak ada yang pernah melihat keberadaannya di sana. Sementara aku dan Edgar, kami harus berusaha terlihat baik-baik saja, dan bertingkah normal selayaknya anak-anak seumuran kami. Edgar masih bermain dengan teman sebayanya di lingkungan rumah, dan aku menjalani rutinitas sekolahku seperti biasa. Benar-benar seolah tidak ada yang terjadi di dalam keluarga kami.
Hari ini aku cukup dikejutkan dengan panggilan dari salah satu guruku, di tengah-tengah jam pelajaran yang masih berlangsung. Jam bahkan masih menunjukkan pukul delapan pagi, tapi guru itu berkata bahwa Mama datang menjemputku. Benar, Mama datang ke sekolah dan menjemputku. Aku bersorak bahagia dalam hati. Akhirnya, aku tidak ditinggalkan. Akhirnya, Mama datang menjemputku dan akan membawaku pergi dengannya.
Dengan sweater berwarna kuning yang kukenakan dan tas sekolah yang menggantung di punggung, aku berjalan dengan riang di koridor sekolah. Aku bahkan bersenandung lirih dan terus mengembangkan senyumku di sepanjang perjalanan menuju ruang guru, tempat dimana Mama sudah menungguku. Tepat setelah aku melihat Mama yang duduk di ruangan itu, senyumku semakin mengembang. Aku berjalan cepat menuju arahnya, dan mencium tangannya. Mama langsung membawaku pergi, tanpa mengatakan kemana tujuan kami, atau mengapa aku harus dijemput sepagi ini saat jam sekolah baru saja dimulai.
Di sebuah becak yang kami tumpangi, aku bisa merasakan bahwa senyumku masih ada di sana. Cuacanya bahkan terasa lebih menyegarkan dibanding pagi tadi. Meski begitu, aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran yang sejak tadi berputar di kepalaku.
“Kita mau ke mana, Ma?” tanyaku. Saat aku bertanya, Mama tampak sibuk dengan ponsel yang ia pegang. Hingga tak lama, Mama menyimpan ponsel itu ke dalam kantong celana dan menatap jalanan yang berada di depan kami.
“Pengadilan Agama,” sahut Mama. Ada sedikit jeda sebelum Mama melanjutkan ucapannya. “Hari ini sidang kedua perceraian Mama dan Armadi.”
Aku bergeming. Alih-alih bertanya lebih jauh, aku memilih untuk terus menunggu Mama menyelesaikan ucapannya. Sebab aku tahu, Mama memiliki lebih banyak untuk dikatakan.
“Mama butuh lebih banyak saksi yang bisa mendukung gugatan cerai itu.”
“Lalu? Kenapa Mama malah jemput aku?”
“Mama mau kamu bersaksi,” katanya sambil menatapku. “Nanti kamu beberkan semua yang kamu lihat di rumah belakangan ini di pengadilan. Mama ingin sidang ini cepat selesai. Mama sudah capek berurusan sama Armadi.”