Aku benar-benar tidak pergi ke sekolah. Pak Basuki si penjual rongsok, kemarin tidak datang. Pun tetangga yang kami panggil Bulek, enggan untuk meminjamkan uangnya untuk Nenek. Baguslah, setidaknya hari ini aku tidak perlu pura-pura bersikap ramah dan menghabiskan energiku untuk basa-basi dengan banyak orang yang kutemui.
Ngomong-ngomong, satu minggu lagi adalah hari kenaikan kelas. Aku tidak tahu siapa yang akan datang ke sekolah untuk mengambil rapor milikku. Nenek tidak mungkin pergi jauh ke kota hanya untuk melakukan hal sepele seperti itu. Aku tidak mau merepotkannya. Haruskah aku mengambil raporku sendiri, dan berkata pada wali kelas bahwa orang tuaku terlalu sibuk dengan hidup masing-masing? Aku tidak tahu, dan aku tidak ingin memikirkannya lebih jauh.
Sambil merebahkan tubuh pada kursi panjang yang terbuat dari bambu di beranda rumah, aku memperhatikan arak-arakan awan yang bergerak perlahan. Seumpama kumpulan awan itu bisa disentuh, akan seperti apa rasanya? Akankah seperti gulungan kapas raksasa, atau hanya terasa seperti kumpulan asap yang tidak bisa dirasakan? Tanganku terangkat ke udara, dan menggambar garis-garis yang kubentuk menyerupai awan dengan jariku. Aku bertanya-tanya, seumpama kumpulan awan itu membawaku melambung jauh lalu menghempaskan tubuhku begitu saja, akankah rasanya menyenangkan? Apakah rasa sakit setelah aku terhempas akan mampu menghilangkan lukaku seluruhnya? Kalau memang iya, aku ingin melakukannya. Aku ingin memberikan tubuh hancurku sebagai hadiah untuk kedua orang tuaku.
Jika hal itu bisa terjadi, mereka pasti gembira sebab tidak akan terbebani dengan keberadaanku di masa depan. Atau ... mereka justru akan saling menyalahkan satu sama lain karena meninggalkan anak-anak mereka, hingga hal buruk semacam itu terjadi? Ah, tapi yang kedua sepertinya lebih menyenangkan. Hanya dengan membayangkan mereka saling berteriak di depan tubuh hancurku, senyumku mengembang begitu saja. Aku terkekeh sambil bertepuk tangan sendirian. Aku ingin melihat wajah sedih itu secara nyata, dan membawa mereka ke dalam penyesalan seumur hidup. Ya Tuhan, rasanya pasti benar-benar menyenangkan!
“Mbak Arini sedang apa?” Edgar mendekatiku sambil membawa sebuah buku bersampul merah yang bertuliskan ‘Ensiklopedia Dinosaurus’. Aku membiarkan bocah itu duduk di sampingku dengan pertanyaan yang sama sekali tidak kujawab.
“Apa Mbak Arini tahu kalau dinosaurus punah gara-gara ada badai meteor? Kasihan, ya?” katanya lagi.
“Kenapa kasihan? Justru kalau dinosaurus masih ada, kamu sudah pasti dimakan sama mereka. Memangnya kamu mau dimakan dinosaurus?”
Aku bisa melihat bocah itu menggeleng, sambil terus membalik halaman buku yang sering ia baca belakangan ini. Meski belum terlalu lancar, tapi Edgar selalu berusaha untuk menyelesaikan bacaannya itu.
“Tapi aku mau pelihara dinosaurus.”
“Mau taruh di mana?”
“Belakang rumah, lah!”
“Memangnya kamu mau pelihara apa? Pasti t-rex, kan?”
Jujur saja, aku menebak dengan asal. Selain t-rex merupakan dinosaurus yang paling terkenal, aku tidak tahu jenis dinosaurus yang lainnya. Aku sungguh tidak pernah tertarik dengan hewan-hewan raksasa yang bahkan tidak pernah kulihat langsung itu.