Noir

Marindya
Chapter #10

08 || Si Merah yang Selalu Tampak Cantik

Ayah sungguh menepati janjinya. Tepat dua hari setelah kedatangannya ke rumah, ia kembali untuk menjemput kami. Aku menghabiskan tiga hari yang cukup menyenangkan di kota yang jauh dari tempat tinggalku. Kami bahkan membutuhkan waktu 4 hingga 5 jam untuk sampai ke kota itu. Kota Malang, yang dulu kuharap bisa berkunjung kesana bersama Mama. Aku pernah datang ke kota itu satu kali saat tahun terakhirku di sekolah dasar. Kala itu, sekolah mengadakan kegiatan rekreasi sebelum para murid kelas enam benar-benar lulus dan berpisah. Aku masih mengingat dengan jelas, ketika Mama menyiapkan segala kebutuhanku dengan penuh semangat. Kala itu, Mama tampak bahagia karena anak gadisnya akan pergi berlibur di tengah gaduhnya suasana rumah.

Pada liburan keluarga kali ini, awalnya aku cukup terkejut karena Ayah ternyata juga turut membawa perempuan asing yang membuat rumah kami hancur. Aku dan Edgar menjadi sangat diam selama perjalanan kami menuju kota itu. Bisa kutebak, adikku pasti juga tidak nyaman dengan kehadiran perempuan asing yang sedang bersama kami. Maria dan Gracia entah berada di mana. Mereka tidak terlihat ketika Ayah menjemput kami. Namun, suasana liburan itu sungguh diluar dugaan. Perempuan itu sungguh baik pada kami. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, tapi berkat dia aku kembali menemukan keluargaku yang utuh. Aku kembali menjadi putri Jasmine yang bahagia. Benar. Seharusnya hidupku seperti ini. Tidak ada tangisan, tidak ada teriakan dan keputusasaan.

Setelah menghabiskan tiga hari di kota itu, kami kembali ke desa dengan banyak sekali baju dan mainan baru. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan ponsel baru dari Ayah. Ia bahkan membelikan beberapa baju baru untuk Nenek, dan mengajaknya untuk pergi berbelanja banyak keperluan dapur. Aku benar-benar bahagia. Tante Yuni ternyata bukan orang yang buruk. Baiklah, dia memang merusak keutuhan keluargaku, tapi dia bukan perempuan jahat seperti Ibu tiri kebanyakan yang ada di film-film. Kami menjadi semakin dekat, kecuali Edgar yang masih tampak tidak nyaman dengan kehadiran Tante Yuni. Tidak apa-apa, mungkin Edgar hanya membutuhkan waktu lebih banyak untuk membiasakan diri.

Sejak saat itu, Ayah juga sering menjemput kami untuk menginap di rumahnya. Rumah yang ia tempati bersama istri barunya. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah mereka, aku mengetahui bahwa apa yang dikatakan para tetangga adalah benar. Tante Yuni sudah pernah menikah sebelumnya, tapi aku tidak tahu tepatnya berapa kali dia menikah. Satu hal yang pasti, ia memiliki dua anak dari dua laki-laki yang berbeda. Satu gadis seusiaku, dan satu lagi laki-laki seusia Edgar. Lucu, bukan? 

Kami— anak-anak Ayah dan Tante Yuni— juga cukup dekat satu sama lain. Mungkin karena usia kami sama, atau mungkin karena kami sama-sama menerima takdir bahwa kini kami menjadi saudara. Semuanya berjalan sangat baik. Perlahan, Edgar juga mulai membuka diri pada Tante Yuni. Kami benar-benar terlihat seperti keluarga bahagia. Selain itu, Tante Yuni juga memberikan segala yang aku inginkan.

Hari ini akhirnya aku akan menerima rapor. Aku sudah tidak keberatan meski yang akan mengambil raporku adalah istri baru Ayah, bukannya Mama. Lagi pula, sudah lama aku tidak mendengar kabar darinya. Entah karena Mama benar-benar melupakanku, atau karena hal lain. Tidak apa-apa, mungkin kebahagiaan Mama tidak ada bersama kami.

Aku tersenyum cerah ketika melihat Ayah dan Tante Yuni memasuki gerbang sekolah. Aku tidak peduli meski teman-temanku terlihat heran ketika Ayah menggandeng tangan perempuan lain pagi itu. Mereka sungguh tidak tahu apa-apa soal hidupku.

Tepat ketika Tante Yuni dan Ayah masuk ke dalam kelas untuk bertemu wali kelas, salah seorang temanku datang menghampiri. Dia bilang, para gadis populer memintaku untuk datang ke samping sekolah. Aku benar-benar muak pada mereka. Bukankah sebentar lagi mereka sudah akan lulus dari sekolah? Kenapa mereka tidak menyibukkan diri untuk pergi ke tingkat selanjutnya dan malah berkeliaran dengan datang kemari? Meski merasa begitu malas, nyatanya aku tetap melangkahkan kakiku untuk mendatangi mereka. Mereka berempat benar-benar terlihat seperti segerombolan preman hari ini. Meski masih menggunakan seragam SMP, entah mengapa mereka terlihat seperti gadis-gadis yang bisa melakukan tindakan kriminal. 

Oh, syukurlah. Mereka akan segera pergi dari sekolah ini dalam beberapa hari kedepan.

Lihat selengkapnya