Hari-hari berikutnya berjalan dengan sedikit normal. Aku menghabiskan liburan sekolahku di kediaman Tante Yuni dan Ayah, bersama Edgar tentunya. Mereka benar-benar bersikap baik pada kami. Edgar dan anak laki-laki Tante Yuni, juga sangat dekat seperti sepasang sahabat lama. Aku sempat jatuh sakit ketika berada di rumah Tante Yuni dan ia merawatku dengan sangat baik. Aku juga tidak sabar untuk kembali ke sekolah, sebab para kakak kelas perundung itu sudah lulus. Satu tahun lagi, aku juga akan lulus dari sekolah itu.
Semuanya tampak berjalan seperti seharusnya, kecuali isi kepalaku yang masih riuh. Aku sudah bahagia, sungguh. Aku tidak berbohong. Namun, entah mengapa suara-suara dalam kepalaku tidak mau pergi. Menjelang tidur bahkan lebih parah. Aku bisa mendengar dengan jelas suara mereka. Meski terkadang hanya suara gumaman yang tidak kumengerti, tapi tetap saja itu merepotkan. Terkadang, aku tiba-tiba terbangun dari tidur dan badanku seolah mengajakku untuk berlari kencang entah kemana. Hanya berlari sejauh mungkin, ke tempat orang-orang tidak bisa menemukanku. Tentu saja aku menahannya sekuat tenaga. Aku benar-benar akan dianggap gila kalau saja aku tidak melawan tubuh dan pikiranku. Tidak jarang juga, aku ingin berteriak dengan sangat kencang. Ketika perasaan itu muncul, biasanya aku akan memukul kepalaku beberapa kali sebelum kembali tidur. Sungguh perasaan yang sangat merepotkan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menggambarkannya.
Meski kehidupanku belakangan ini berjalan cukup baik, tapi menurutku Tante Yuni masih orang asing yang kebetulan menjadi anggota keluarga baru. Dia sungguh berusaha keras untuk diterima olehku dan Edgar— aku bisa merasakan itu. Tante Yuni pernah berkata bahwa aku bisa menganggapnya sebagai teman, dan menceritakan apapun padanya. Namun, tentu saja aku tidak melakukan itu. Maksudku— memangnya kenapa aku harus bercerita padanya? Terlebih, dia masih cukup asing dan dirinya adalah salah satu alasan hidupku menjadi runyam belakangan ini. Ayah juga pernah memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan ibu, tapi aku langsung menolaknya. Tidak peduli sebaik apa dirinya padaku, bagiku yang pantas untuk kujadikan ibu hanyalah Mama. Satu-satunya, dan tidak ada lagi yang lainnya. Entahlah, aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menggambarkan apa yang aku rasakan. Sekali lagi, aku bahagia sebab Ayah kembali memberikan perhatiannya pada kami, dan Tante Yuni juga merupakan orang yang cukup baik. Aku tidak akan memungkirinya. Namun, ada sesuatu di sudut hatiku yang lain, yang berkata bahwa ini salah. Bahwa tidak seharusnya aku bahagia, bahwa tidak seharusnya aku tertawa.
Saat malam terakhir berada di rumah itu, aku dan Edgar memutuskan untuk tidur lebih awal, sebab besok kami harus bangun lebih pagi. Aku baru saja terlelap, ketika mendengar suara Gracia di telingaku. Gadis itu gemetar, dan terlihat ketakutan.
"Arini, bangun. Ayahmu dan Tante Yuni bertengkar," begitu katanya.
Aku segera membuka mataku, dan mendapati Gracia berlari ke ujung ruangan lalu meringkuk sambil menutup kedua telinganya. Sementara di depan pintu kamar, aku melihat Maria yang sedang mengepalkan tangannya. Sudah kubilang, Maria memang mudah marah dan matanya selalu penuh dengan kebencian dan guratan luka.
"Kamu itu egois! Aku sudah memperlakukan Arini dan Edgar dengan baik. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu tadi tidak menggubris Rayyan yang ingin duduk di pangkuanmu. Kamu cuma peduli sama kedua anakmu itu, kan?" Aku bisa mendengar suara Tante Yuni. Meski lirih, kalimatnya masih terdengar cukup jelas di telingaku. Mereka sedang bertengkar.
Ngomong-ngomong, Rayyan adalah nama anak laki-laki tante Yuni yang seumuran dengan Edgar. Tadi selepas maghrib, Ayah, Edgar dan Rayyan memang menghabiskan waktu di depan televisi sambil bercanda. Aku bisa melihat Rayyan yang berusaha untuk duduk di pangkuan Ayah, tapi Ayah menolak. Aku tidak tahu alasannya, tapi katanya mereka harus duduk di kursi masing-masing agar adil, sebab Ayah tidak mungkin memangku keduanya.
"Terus aku harus gimana? Kurang baik gimana aku selama ini sama anak-anakmu? Aku bisa bertemu Rayyan setiap hari. Aku bisa menemani Rayyan main di rumah ini setiap hari. Tapi anak-anakku? Aku cuma bisa ketemu mereka ketika libur sekolah. Aku tidak bisa setiap hari main dan ada untuk mereka." Ayah membela dirinya. Aku masih terus mendengarkan pertengkaran itu dari atas ranjangku. Aku bahkan tidak mengubah posisi tidurku, sebab aku sungguh tidak tahu harus melakukan apa di tengah situasi itu.
"Aku memperlakukan Arini dan Edgar seperti anak raja selama ini. Aku selalu hati-hati bertingkah dan bicara di depan mereka, tapi aku sakit hati lihat kamu bersikap begitu sama Rayyan! Aku tidak terima!"