Hari berikutnya, aku sepenuhnya berbohong pada Nenek. Kukatakan padanya, bahwa aku akan berkunjung ke rumah temanku, dan ingin mengajak Edgar. Berbekal nama sebuah perumahan yang Edgar ketahui, aku dan bocah itu berangkat untuk mencari keberadaan Mama. Aku harus menanyakan seluruh pertanyaan yang berputar di kepalaku. Mama harus memberiku alasan, mengapa ia pergi dari rumah, dan tidak pernah kembali untuk membawaku dan Edgar bersamanya.
Cuaca siang itu sedang terik-teriknya, ketika aku dan Edgar menaiki sebuah bus yang akan membawa kami ke tujuan. Bus itu cukup penuh sesak, hingga aku dan Edgar tidak mendapat bangku dan harus berdiri sambil berdesakan dengan orang-orang dewasa. Aku menggandeng Edgar erat, dan sebelah tanganku berpegangan pada sandaran bangku bus. Kami hampir saja terjatuh beberapa kali, sebab sopir yang mengerem dengan tiba-tiba, atau berbelok tanpa mengurangi kecepatan. Aku sempat menyesali keputusanku untuk membawa Edgar tadi, sebab ternyata aku belum cukup mampu untuk menjaga diriku sendiri dan bocah itu. Namun, ketika ada salah satu pria yang akhirnya memberikan bangkunya pada kami, penyesalanku langsung hilang begitu saja. Dengan senyum yang mengembang, aku duduk pada bangku yang baru saja diberikan oleh orang asing itu, sambil memeluk Edgar dalam pangkuanku.
Setelah sekitar 20 menit berdesakan di dalam bus itu, kami akhirnya sampai pada salah satu komplek perumahan. Pada dasarnya aku melewati perumahan itu setiap hari, sebab letaknya berada di arah yang sama dengan sekolahku. Namun tetap saja, aku merasa asing begitu kami memasuki perumahan yang tampak cukup sepi itu.
Sambil bergandengan tangan, aku membiarkan Edgar berjalan sambil memperhatikan satu per satu rumah yang berada di sana. Kami sudah berjalan hingga rumah paling ujung, lalu berbelok menuju satu blok dan blok yang lainnya, tapi Edgar belum juga menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menemukan tempat tinggal Mama. Kami bahkan kembali ke pintu masuk perumahan itu— tempat kami turun dari bus yang kami tumpangi tadi, setelah berputar kesana-kemari.
“Jadi, rumahnya yang mana, Gar?”
Bocah itu kembali berjalan cepat menuju sebuah rumah, lalu memperhatikan rumah itu sejenak. “Sepertinya sih, yang ini, Mbak. Tapi aku tidak yakin.”
Kini aku sepenuhnya menyesali keputusanku untuk pergi mencari Mama. Rumah yang Edgar tunjuk cukup sepi, bahkan pintunya tertutup rapat. Tidak ada pagar, atau halaman rumah. Tidak ada tanda-tanda kehidupan seperti sandal yang tergeletak di depan pintu, atau apa pun. Itu lebih mirip dengan pintu bagian belakang rumah yang sudah tidak berpenghuni. Bermenit-menit terpaku di depan pintu rumah itu, aku memutuskan untuk kembali menggandeng tangan Edgar dan berbalik. Aku berniat kembali ke jalanan utama, sebelum akhirnya ada seorang wanita paruh baya yang memanggil kami berdua.
“Cari siapa, Nak?” tanya wanita itu.
“Kami cari rumah Bu Sandra, Tante. Apa Tante kenal?” tanyaku sopan sambil berjalan ke arahnya.
“Bu Sandra? Saya belum pernah dengar namanya. Rumahnya nomor berapa? Biar saya antar.”
Aku menghela napas jengah. Kalau saja aku tahu nomor rumahnya, Edgar dan aku tidak mungkin hanya berputar-putar di sepanjang komplek perumahan itu sejak tadi!
“Saya tidak tahu, Tante. Ya sudah, terimakasih, ya.”