Tadinya, kupikir hidupku tidak akan jatuh lebih jauh lagi, sebab aku sudah terperosok pada jurang kehancuran dengan cukup dalam. Namun, nyatanya jurang itu justru tidak berdasar dan terus menarikku untuk jatuh jauh lebih dalam lagi. Setelah hari dimana Ayah marah sebab aku membawa Edgar untuk bertemu Mama, Ayah berubah jauh lebih parah. Dia tidak lagi pernah menjemputku dan Edgar, dan jarang sekali datang. Bahkan, ia datang ke rumah Nenek seperti seorang tamu yang cukup asing. Ia hanya akan duduk di ruang tamu, meminum secangkir teh, kemudian kembali pergi. Aku tidak tahu lagi bagaimana kabar Tante Yuni, karena perempuan itu sungguh tidak pernah lagi menghubungiku sejak hari itu.
Ayah bahkan sudah tidak lagi peduli pada kehidupan sekolahku. Bagaimana aku membayar iuran sekolah, bagaimana aku harus membayar ongkos bus, atau bagaimana aku dan Edgar makan setiap hari. Ayah sungguh sudah tidak peduli. Aku tidak tahu, apa Ayah memberikan uang pada Nenek untuk kami, atau tidak sama sekali. Namun, yang aku tahu Nenek semakin kerepotan setiap harinya. Ia meminjam dari satu orang ke orang lainnya, menutup pinjaman yang ini lalu membuka yang itu. Aku sungguh kasihan padanya, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Jadi, boleh kusimpulkan bahwa Ayah tutup mata pada keadaan kami, kan? Kalau kamu berpikir mungkin Ayah tidak memiliki uang untuk membantu kami, kamu salah besar. Ia merupakan salah satu anggota wakil rakyat. Yang kutahu, nilai yang ia terima setiap bulannya tidak main-main. Jadi Ayah bukannya tidak bisa membantu, ia hanya tidak mau.
Aku menghabiskan tahun terakhirku di Sekolah Menengah Pertama dengan penuh perjuangan dan air mata. Sesekali aku masih datang untuk mengunjungi Mama, tapi ia pun tidak memiliki apa-apa untuk membantu kami. Jadi, lagi-lagi Nenek harus kerepotan sendirian.
Puncaknya adalah ketika aku harus mendaftar pada sebuah SMA. Aku berkali-kali menghubungi Ayah untuk memintanya mengantarku, juga membayar uang sekolahku. Nenek benar-benar tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membayar biaya pendaftaran sekolahku. Jadi mau tidak mau, aku terus menelepon Ayah meski sama sekali tidak mendapat respon sama sekali. Hingga akhirnya, aku memilih untuk mengirimkan sebuah pesan singkat. Aku sungguh memohon agar Ayah membantu pendaftaran sekolahku. Aku tidak ingin putus sekolah.
Bermenit-menit setelah aku mengirimkan pesan singkat itu, ponselku berdering. Ayah menelponku. Tanpa menunggu lama, aku segera menekan tombol berwarna hijau pada ponselku. Di seberang telepon, aku bisa mendengar dengan jelas bahwa yang berbicara denganku adalah Tante Yuni, bukan Ayah.
“Kenapa kamu ganggu Ayah dengan terus-terusan telepon begitu? Kenapa harus Ayah yang mengantarmu daftar sekolah?” tanya perempuan itu, tepat setelah aku menjawab teleponnya. Aku tidak tahu bahwa Tante Yuni akan berubah begitu jauh. Suaranya tidak lagi lembut seperti dulu, aku bahkan bisa mendengar nada kebencian disana.
“Karena dia ayahku,” jawabku singkat.
“Mamamu kemana? Apa gunanya dia kalau tidak bisa mengantarmu? Suruhlah dia yang mengantar. Kenapa harus merepotkan Ayah?”