Noir

Marindya
Chapter #14

12 || Iblis Bertopeng

Beberapa tahun terakhir, aku benar-benar kehilangan sosok Ayah. Ia telah berubah jauh berbeda. Bertahun-tahun, aku berusaha memperbaiki hubungan dengannya, tapi selalu berakhir dengan aku yang dikecewakan. Aku sungguh sudah tidak lagi berharap apapun pada laki-laki keparat itu. Sungguh. Ia bahkan tidak peduli pada sekolahku, atau kehidupanku. Namun sekali lagi, Tuhan sepertinya sangat senang bermain-main denganku. Semesta sepertinya begitu senang melihat kehancuranku. Pada tahun terakhir SMA, aku lagi-lagi membutuhkan uang dengan jumlah yang banyak untuk membayar ujian. Sekali lagi, Nenek tidak bisa melakukan apa pun, dan Mama belum juga mendapatkan uang untuk membayar biaya ujian itu. Jadi setelah membuang harga diriku, sekali lagi aku mencoba untuk menghubungi Ayah. Aku memintanya untuk membantuku membayar uang ujian itu. Meski tidak seluruhnya, paling tidak ia membantu sedikit.

Sejujurnya aku sudah siap dengan penolakan yang mungkin akan menghampiriku. Namun diluar dugaan, Ayah ternyata menyanggupi permintaanku. Katanya, ia akan datang ke sekolah untuk membayar uang ujian itu. Tentu saja aku senang. Sepertinya Ayah sudah menyadari bahwa uang sekolah itu masih menjadi tanggung jawabnya. Hari itu, perasaanku membaik. Ada sedikit perasaan lega yang masuk begitu saja dalam dadaku. Jadi, aku memutuskan untuk bermain dengan salah satu temanku sepulang sekolah. Aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke rumah seorang teman itu. Hingga menjelang sore, aku mendapat telepon dari salah satu saudara yang tinggal di dekat rumah Nenek. Ia tiba-tiba melarangku untuk pulang ke rumah. Katanya, Ayah datang bersama Tante Yuni.

Bukan, seorang saudara itu bukan melarangku pulang karena tidak ingin aku bertemu Ayah, melainkan karena Tante Yuni datang dengan amarahnya yang meledak. Dari yang kudengar, perempuan itu berteriak pada Nenek dan menanyakan keberadaanku. Katanya, aku seorang anak yang kurang ajar. Katanya, aku adalah seorang pencuri yang terus mengambil uang dari suaminya. Dia menganggapku kurang ajar hanya karena meminta uang pada ayahku sendiri. Aku tidak melihat langsung kejadiannya, tapi bahkan para tetangga mengetahui hal itu, sebab Tante Yuni sungguh berteriak dengan suara yang sangat kencang. Sore itu, Tante Yuni berkata bahwa ia ingin membunuhku. Bisa kamu bayangkan, ada seorang perempuan yang berkata bahwa ia ingin menghabisiku, dan Ayah malah mengantarnya ke rumah Nenek dengan kesadaran penuh? Aku sungguh tidak habis pikir, apa isi kepala Ayah sebenarnya? Bagaimana bisa ia bersikap begitu tak acuh meski ada seseorang yang mengancamku? Saudaraku bahkan bilang bahwa Ayah hanya duduk diam dan tertunduk di ruang tamu meski Tante Yuni terus memaki Nenek dan para saudara yang berada di sana.

Tidak ada yang memberitahu Ayah dimana keberadaanku. Mereka semua geram, mereka semua muak. Namun, ada satu hal yang lebih memuakkan. Menjelang maghrib, Ayah menelponku. Dia bilang, dirinya dan Tante Yuni akan menungguku di depan sekolah. Aku bahkan bisa mendengar suara teriakan dari Tante Yuni di telepon itu.

“Kurang ajar kamu! Kenapa sembunyi?! Ayo sini keluar, ketemu sama Tante!”

Sementara di seberang telepon, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Dadaku begitu sesak menerima keadaan yang rumit itu. Ya Tuhan, Ayah bahkan memohon agar aku menemuinya dan perempuan gila itu, meski ia telah mendengar dengan telinganya sendiri bahwa Tante Yuni meneriaki ku. Untuk apa? Untuk menyerahkan diriku dengan suka rela dan membiarkannya melakukan apa saja padaku?

Tentu saja aku menolak. Aku berkata bahwa aku tidak lagi mau bertemu Ayah. Sore itu dengan tangisku yang tersedu, seorang teman dan keluarganya menyaksikan bagaimana hancurnya diriku. Bagaimana seorang Ayah menghancurkan perasaan anak gadisnya. Seorang Ayah yang seharusnya melindungi anak-anaknya, justru menghancurkanku dengan sikapnya. Aku sepenuhnya kalah. Sore itu, aku membiarkan orang lain melihat sisi menyedihkan dariku.

Lihat selengkapnya