Setelah hari itu, aku benar-benar memutus hubunganku dengan Ayah. Aku tidak mau lagi mendengar kabar apapun darinya. Sungguh, aku sudah lelah mengalah selama bertahun-tahun. Setelah lulus dari SMA, aku memutuskan untuk keluar dari rumah Nenek dan tinggal sendiri, sambil bekerja di kota. Sementara Edgar, bocah itu masih tinggal bersama Nenek. Namun, kehidupanku tidak juga membaik. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi kini aku kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain. Aku selalu merasa bahwa keberadaanku membawa pengaruh buruk bagi orang lain. Aku merasa ... bahwa diriku pembawa sial.
Aku masih sering terbangun di tengah tidurku, dan memukul kepalaku agar kembali tenang. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui keadaanku yang satu ini. Aku benar-benar menutupinya dari semua orang. Aku masih sering menangis, aku masih selalu menyalahkan diriku atas segala yang terjadi di sekitarku. Aku tidak mampu lagi menghargai diri sendiri. Aku bodoh, dan pantas dibuang. Beberapa orang di sekitarku, masih saja memberikanku petuah menjijikkan. Mereka memintaku untuk tetap hormat pada Ayah, menghargainya, dan mendoakan kebaikan untuknya. Demi Tuhan! Aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka.
Terakhir kali, kudengar Ayah ditahan karena kasus obat-obatan terlarang. Sejujurnya, jauh di dalam sudut hatiku, aku merasa sedih. Mengapa Ayah menghancurkan hidupnya sendiri? Bagaimana jika seandainya Ayah masih tetap bersama Mama dan keluargaku masih utuh? Akankah kehidupan kami semua lebih baik dari ini? Pertanyaan-pertanyaan itu sering sekali datang menghampiriku. Namun, tidak ada gunanya selalu membangun pengandaian sia-sia dalam kepala. Aku memilih untuk seutuhnya abai pada Ayah dan kehidupannya.
Namun seperti biasa, beberapa saudara menyudutkanku. Mereka bilang, mau bagaimanapun, Armadi tetap ayahku dan akan selamanya begitu. Jadi, aku harus peduli padanya. Aku harus datang menjenguknya yang sedang berada di balik jeruji besi, menanyai tentang bagaimana kabarnya, atau melakukan apapun sebagai bentuk hormat. Aku jelas menolak. Sungguh, aku sudah muak dengan segala ucapan menyakitkan yang selalu aku terima dari Tante Yuni. Namun, katanya aku tidak akan pernah lahir jika Armadi tidak ada. Demi Tuhan! Aku tidak pernah meminta dilahirkan dan menjadi anak dari laki-laki bajingan itu. Bahkan mungkin iblis saja malu dengan sikap Armadi selama ini— jadi untuk alasan apa aku harus tetap hormat padanya?
“Mari datang saja ke penjara dan racuni dia, Arini!”
Kini aku sedang berbaring di kontrakan kecilku, sambil memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku sungguh bukan seseorang yang bisa benar-benar tidak mempedulikan orang-orang yang berada di sekitarku. Aku tidak bisa menghilangkan kepedulianku pada mereka. Entah disebut bodoh atau apa, aku sudah bosan dengan sifatku yang ini.
"Jadi, menurut kalian aku harus datang ke lapas atau tidak?" Dalam kesunyian malam itu, aku bertanya pada Maria dan Gracia yang turut berbaring di sampingku. Hingga kini mereka masih setia bersamaku, dan aku tidak ingin kehilangan mereka.
"Saya ingin bertemu Ayah Arini. Saya rindu. Saya ingin melihat wajahnya. Seperti apa dia sekarang, ya?"
Maria berdecak di sampingku. "Untuk apa lagi? Laki-laki seperti itu pantasnya dibuang saja. Aku tidak sudi melihat wajahnya lagi. Kamu penasaran seperti apa dia sekarang? Sudah pasti dia jadi laki-laki tua dengan banyak kerutan di wajahnya. Aku bahkan bisa membayangkan wajah menjijikkannya itu."
"Kenapa Maria benci sekali pada Ayah Arini? Tidak boleh begitu, dia pernah menjadi ayah yang baik. Arini, ayo kita pergi menjenguknya saja, jangan ajak Maria. Dia selalu marah-marah, saya tidak suka."
Sudah berhari-hari aku memikirkan ucapan orang-orang di sekitarku— bahwa aku anak yang kurang ajar. Meski batinku terang-terangan menolak, tapi kepalaku terus memikirkannya. Sepertinya memang benar, bahwa aku tidak seharusnya bersikap begitu tak acuh pada Ayah. Jadi setelah ribuan pertimbangan yang berada dalam kepalaku, aku memutuskan untuk datang ke sebuah lapas keesokan harinya. Katanya, Ayah kini berada di dalam sana dan sedang memetik hasil dari perbuatannya.
Siang yang cerah untuk sebuah pesta. Namun, tidak. Aku tidak akan pergi berpesta, melainkan mendatangi Ayah di balik jeruji besi. Kesayanganku, yang menghancurkan hidupku.
Tunggu! Aku tidak boleh berkata demikian. Bagaimanapun, aku tetap harus hormat padanya.
Kini aku sudah berada di halaman lapas yang terlihat sangat sepi. Ada sebuah pintu kayu yang menjulang tinggi, dan tertutup rapat. Aku benar-benar tidak tahu kemana harus pergi.
Haruskah aku membuka pintu kayu itu? Bagaimana jika aku membuka pintu yang salah?
Aku terus menoleh kesana-kemari untuk mencari pintu lain yang mungkin terbuat dari kaca, jadi aku bisa melihat isinya dari luar. Namun, sayangnya aku tidak menemukan pintu semacam itu. Satu-satunya pintu yang ada, hanyalah pintu kayu yang menjulang di hadapanku tadi. Hingga tak lama, ada seorang wanita yang mendatangiku. Mungkin ia keheranan, karena sejak tadi aku hanya berjalan kesana-kemari.