Aku sedang duduk di sebuah kursi anyaman bambu, sambil memperhatikan Maria dan Gracia yang sedang mencabut beberapa singkong dari kebun di samping gubuk. Tadi aku sudah menawarkan bantuan, tapi mereka menolak dan menyuruhku untuk beristirahat di kursi ini. Sambil memperhatikan mereka, sesekali kepalaku menengok kesana-kemari. Aku baru menyadari bahwa desa ini sangat sepi. Sejak sampai di sini, aku belum melihat penduduk lain, selain kami bertiga. Aku juga tidak tahu pukul berapa sekarang, sebab ponsel milikku sepenuhnya mati, dan di gubuk ini tidak ada jam dinding. Sementara, langit masih kelabu sama seperti pertama kali aku menginjakkan kaki di sini.
Ah, ngomong-ngomong soal kaki, aku menunduk dan memperhatikan kakiku yang masih dipenuhi luka. Darah dari luka-luka itu sudah mengering, tapi alih-alih membersihkannya, aku memilih untuk membiarkannya begitu saja. Aku menyukai bagaimana kakiku terlihat dipenuhi luka seperti itu. Anehnya, meski terdapat cukup banyak luka di telapak kakiku dan di sekitarnya, aku sama sekali tidak merasakan perih, atau bahkan sakit. Sepertinya kaki-kaki itu sudah sepenuhnya kebas, sama seperti hatiku yang sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Aku masih terdiam di tempatku, ketika Maria dan Gracia terlihat duduk di dekat tungku dan bersiap untuk menyalakan api. Maria mengambil sebuah sabut kelapa yang sudah kering, lalu membakarnya dengan korek. Setelah itu, ia melemparkan sabut kelapa itu ke dalam tungku. Sementara Gracia— gadis itu sibuk menyatukan lembaran kertas, lalu menggerakkannya ke kanan dan ke kiri untuk mengipas lubang tungku, agar api lebih cepat menjalar pada kayu-kayu yang berada di sana. Katanya, hal itu cukup membantu untuk membuat kobaran api menjadi lebih besar. Di sampingnya, Maria menambahkan sebuah potongan kayu panjang pada lubang tungku. Kini mereka sudah berhasil menyalakan api, dan asap melambung tinggi hanya dalam waktu yang singkat. Aku terus memperhatikan mereka berdua, tanpa mengatakan apa-apa.
Selanjutnya, mereka meletakkan sebuah periuk yang ukurannya tidak terlalu besar, lalu memasukkan singkong yang sudah dicuci oleh Gracia sebelumnya. Setelah menutup priuk itu, mereka beranjak dan berjalan ke arahku. Aku baru menyadari bahwa mereka berdua sangat mirip. Namun, tentu saja keduanya bukan sepasang saudara. Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa tinggal bersama di gubuk ini, dan aku sama sekali tidak tertarik untuk bertanya pada keduanya.
Kami duduk bersandar pada kursi itu tanpa pembahasan apapun. Maria tampak menutup matanya, Gracia bersenandung lirih sambil menatap barisan awan kelabu, sementara aku sibuk bertanya-tanya dalam kepalaku, soal tempat apa ini sebenarnya. Setelah tiga puluh menit berada di posisi yang sama persis, Maria tampak beranjak dari kursi, dan kembali berjalan ke arah tungku. Ia membuka tutup periuk di sana, lalu mengeluarkan singkong-singkong dengan kepulan asap putih yang sudah tampak matang sempurna. Di sampingku, Gracia bertepuk tangan sambil berteriak kegirangan.
“Kamu harus mencoba singkong kukus dan sambal bawang buatan Maria. Mereka makanan yang saya sukai setelah ketan bubuk,” kata Gracia. Gadis itu baru saja menerima sepiring singkong kukus dari tangan Maria, dan langsung mengambil satu untuk selanjutnya ia kupas. Matanya tampak bersinar, ketika Gracia mencocol singkong pada sambal di hadapannya. Di sampingnya, aku mengikuti apa yang ia lakukan. Sementara Maria hanya diam dan memperhatikan kami.
“Kenapa desa ini sangat sepi?” tanyaku di tengah asiknya Gracia melahap singkong yang ia genggam di tangannya.
“Bukannya kamu memang suka tempat yang sepi?” sahut Maria. Aku tidak mengerti, mengapa ia justru mengatakan hal itu-alih-alih menjawab pertanyaanku. Namun, lagi-lagi aku memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Selanjutnya, kami hanya menikmati singkong kukus itu tanpa saling berbicara. Entah mengapa, aku justru menikmati suasana ini. Rasanya sangat tenang, dan seolah tidak akan ada yang menggangguku di tempat ini. Jadi, haruskah aku tinggal di sini saja bersama mereka berdua?
“Arini,” panggil Maria tiba-tiba, di tengah keterdiaman kami. “Sebentar lagi, ayahmu akan datang ke sini.”
Apa? Kenapa tiba-tiba? Darimana ayah mengetahui bahwa aku berada di tempat ini, sementara ponselku mati dan aku tidak memberitahu siapapun soal tempat ini?
“Dia pasti kesini karena Arini yang mau. Saya sudah bilang bahwa Arini masih sangat menyayangi ayahnya. Apa kamu tahu, Maria? Dulu waktu Arini masih kecil, ayahnya—”
“Diam, Gracia! Berhenti mengingat hal-hal yang tidak perlu!” bentak Maria. Aku tidak tahu mengapa ia menjadi begitu marah, hanya karena Gracia ingin mengingatkan kenangan baik soal Ayah. Karena bentakan itu, Gracia terlihat ingin menangis, lantas pergi begitu saja. Ia terus berjalan cepat meninggalkan kami, meski aku sudah memanggilnya berkali-kali.
“Kenapa Ayah bisa ke sini? Kamu bilang, tidak akan ada yang bisa menggangguku di sini, kan?” tanyaku pada Maria yang masih memusatkan matanya pada Gracia yang semakin menjauh. “sementara dia—”
“Kamu menganggap ayahmu pengganggu?” putus Maria, sementara aku mengangguk. “Lalu kenapa kamu memanggilnya ke sini?”
“Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku yang memanggilnya, sementara ponselku mati sejak sampai di tempat ini.”