Aku dan Gracia terus berlari tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Sejujurnya aku sama sekali tidak takut pada Maria. Lagi pula hidupku sudah tidak lagi berarti, jadi untuk apa aku takut padanya? Aku akan memberikan hidupku dengan suka rela kalau-kalau Maria memang ingin mengambilnya. Hanya saja, tubuhku memaksa untuk terus berlari dari sana, entah untuk alasan apa. Hingga setelah bermenit-menit berlari, kami sampai pada pelataran rumah yang asing. Gracia membawaku masuk ke dalam rumah itu. Katanya, dulu rumah itu milik keluarganya dan aku diijinkan tinggal untuk sementara waktu, sambil menenangkan diri. Bocah itu tidak berhenti menangis selama kami berlari. Aku tahu perasaannya. Ia masih terlalu kecil untuk menyaksikan hal mengerikan seperti tadi. Aku merengkuh tubuh gemetar Gracia, sambil terus berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, meski aku sendiri tahu tidak ada yang baik dari sebuah pembunuhan.
"Ayah Arini bukan orang yang jahat, Arini harus tahu itu. Saya tidak suka pada Maria. Arini jangan jadi seperti dia. Saya tidak suka. Saya tidak mau kita tumbuh dengan penuh kebencian seperti Maria," kata Gracia di sela isaknya. Sementara aku hanya mengangguk dan terus mengusap punggung bergetarnya.
Dari yang kuketahui, Gracia tumbuh di tengah-tengah keluarga yang sangat bahagia. Ia anak satu-satunya di keluarga itu. Orang tua Gracia sangat menyayanginya, dan selalu memberikan yang terbaik untuknya. Kasih sayang, materi, kebahagiaan— Gracia mendapatkan itu semua. Jadi, aku cukup paham mengapa hati Gracia begitu lembut dan penuh kasih.
"Arini, saya tahu kamu juga benci ayahmu. Tapi, Arini, kebencian itu akan membuat hidupmu hancur. Kamu tidak akan pernah bahagia dengan kebencian dalam dirimu. Tidak seperti kamu dan Maria, saya memang selalu bahagia dan tidak pernah merasakan apa yang kalian rasakan. Tapi, Arini, percayalah saya yakin bahwa hidupmu akan baik-baik saja. Bahwa kamu akan terus berjalan ke depan dengan langkah tegap. Arini, jangan terlalu banyak menyimpan kebencian. Saya tidak mau kamu jauh lebih hancur dari ini."
Meski pada awalnya aku ingin menenangkan Gracia, tapi akhirnya justru dia yang menenangkanku. Gracia terus memelukku sepanjang malam, seakan ingin menyalurkan kehangatan dirinya dan mengatakan bahwa aku benar-benar akan hidup dengan baik. Aku tidak tahu bahwa gadis semuda Gracia bisa memiliki pemikiran yang begitu dewasa. Namun, aku bersyukur untuk itu. Setidaknya ia akan lebih bijak dalam menghadapi kehidupan kelak. Aku harap begitu.
Aku jadi mengingat ketika pertama kali bertemu Gracia. Kala itu, aku langsung mengetahui bahwa ia merupakan gadis periang. Gracia sangat menyukai permen dan coklat. Katanya, Gracia ingin hidup dalam dongeng seperti cerita putri-putri kerajaan yang sering ia baca. Namun, dengan keluarganya yang begitu bahagia, sepertinya Gracia sudah hidup di dalam dongeng itu. Hidupnya mirip putri kerajaan, persis sepertiku dulu. Aku tidak pernah mendengar cerita sedih darinya dan hal itu cukup memberiku penghiburan di tengah hidup yang menyesakkan.
***
Cuaca pagi itu tampak mendung, dengan arak-arakan awan yang berwarna kelabu. Gerimis sudah turun sejak 30 menit yang lalu, tapi beberapa orang terlihat tidak peduli dan masih berkerumun pada halte bus. Beberapa orang di sana memasang wajah iba, beberapa lagi mengambil foto dan video. Aroma petrichor yang khas tercium begitu kuat, bercampur bau anyir darah dari mayat Ayah yang tergeletak di samping bangku halte bus itu. Orang-orang terlihat berbisik-bisik, mencoba menerka apa alasan Ayah dibunuh, atau siapa kira-kira yang membunuhnya. Namun, ada satu hal yang membuat semua orang di sana makin heboh. Tidak jauh dari halte bus itu, seorang penyapu jalanan menemukan mayat lain yang berada di dalam sebuah mobil sedan berwarna biru muda. Itu pasti Tante Yuni. Aku tidak tahu bagaimana Maria bisa membunuh keduanya seorang diri. Dari yang kudengar, kondisi tubuh Tante Yuni tidak kalah mengenaskan. Aku tidak tahu pasti, sebab aku terlalu takut untuk mendekat.