"Berhenti sok tahu! Kamu sama menjijikkannya dengan orang-orang yang memberikan petuah tidak berarti untuk Arini. Tahu apa mereka? Di mana mereka waktu Arini terpuruk? Apa yang mereka lakukan untuk Arini? Tidak ada! Jadi berhenti bertingkah seolah kamu peduli, karena aku benar-benar muak."
"Maria, kamu harus berhenti mendorong orang-orang yang ingin membantu Arini untuk menjauh. Kamu sendiri tahu betapa melelahkannya menyimpan kemarahan dan kebencian yang begitu besar. Tidak ada untungnya untuk Arini. Dia cuma akan tersiksa sendirian."
"Arini tidak pernah sendirian! Aku selalu ada disisinya. Hidup Arini sudah baik-baik saja beberapa waktu belakangan. Tapi kamu— dengan tidak tahu dirinya tiba-tiba datang dan membuat Arini harus mengingat semua lukanya! Kamu tahu sehancur apa Arini setiap kali dia pulang dari tempat ini? Dia meraung sendirian! Dia memanggil nama ayahnya yang bahkan sudah tidak ada lagi di sini! Tahu apa kamu soal hidup Arini?!"
"Saya memang tidak tahu apa-apa soal hidup Arini. Yang saya tahu, Arini membutuhkan saya untuk menyembuhkan lukanya. Jadi berhenti berusaha membuat Arini ragu untuk melanjutkan terapinya."
"Apa kamu tahu rasanya ditikam oleh orang yang paling kamu percaya? Apa kamu tahu rasanya dikucilkan karena keadaan yang tidak pernah memihak? Apa kamu tahu rasanya dibuang oleh orang tua sendiri? Tidak! Kamu tidak pernah tahu. Kamu cuma perempuan yang berlagak pintar, hanya karena membaca buku bertahun-tahun. Kamu pikir, kamu bisa menyelami pikiran Arini seperti buku-buku yang kamu baca selama ini?" Maria berdecih. "Jangan mimpi! Kamu hanya penasaran soal hidup Arini, bukan benar-benar ingin membantunya!"
Saya menghela napas panjang. Cukup sulit untuk menghilangkan sisi Maria dari hidup Arini. Kemarahan ini dimulai ketika saya mulai memberi sugesti pada Arini untuk menuju alam bawah sadarnya, seperti hari-hari sebelumnya. Namun, ketika Arini baru saja sampai pada alam bawah sadarnya, sisi Maria tiba-tiba muncul dan melontarkan semua kekesalannya pada saya. Tetap saja, tidak peduli seberapa besar kesulitannya, saya akan benar-benar menghilangkan Maria. Saya benar-benar harus menyadarkan Arini bahwa Maria tidak ada. Saya harus membuat Arini sadar bahwa Maria adalah bentuk kemarahan dari dirinya sendiri, yang tidak pernah bisa dia tunjukkan pada siapa pun.
"Apa kamu tahu?" kata Maria di tengah keterdiaman saya. "Armadi dan istri barunya tetap hidup dengan baik bahkan ketika Arini kelaparan sendirian. Ayahnya tetap hidup dengan baik, meski Arini berkali-kali memohon untuk mati. Aku yakin kamu sudah mendengar banyak bercerita soal keparat itu dari Arini. Dia benar-benar tidak bisa disebut sebagai manusia. Bahkan anjing saja memiliki belas kasih pada anak-anaknya. Harusnya kamu sadar seberapa jauh Armadi menghancurkan Arini! Aku sangat membencinya. Tidak seharusnya kamu membuat Arini jadi lemah begini!"
"Jadi itu sebabnya kamu membunuhnya? Membunuh Armadi dan istrinya?"
"Tentu saja! Hanya aku yang bisa melakukannya. Aku membunuh mereka untuk Arini. Tidak ada yang menyayangi Arini lebih dari diriku di dunia ini!"
"Tapi apa kamu tahu, Maria? Armadi tidak benar-benar mati. Kamu hanya membunuhnya dari pikiran Arini. Kamu hanya ingin menghilangkannya dari ingatan Arini. Dia bahkan masih bernapas seperti biasanya sekarang."
"Cih, omong kosong! Apa kamu ingin kubunuh juga? Aku bisa melakukannya sekarang."
"Lakukan, Maria. Coba bunuh saya persis seperti kamu membunuh Armadi dan istrinya."
Dia terdiam. Tangan Arini mengepal dengan kuat di samping tubuhnya. Saya mencoba untuk menenangkannya, dengan menggenggam tangan dingin itu. "Arini, saya tahu kamu di sini. Saya tahu, yang berbicara dengan saya saat ini adalah kamu. Saya juga tahu bahwa kamu sepenuhnya bisa mendengar suara saya. Tolong jawab saya, kalau apa yang saya katakan memang benar."
Alih-alih menjawab apa yang baru saja saya katakan, Arini memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat.
"Arini, berhenti bersembunyi di balik sosok-sosok yang kamu ciptakan sendiri di dalam kepalamu. Keluarlah dari ketakutanmu, saya tidak akan menghakimi kamu. Kamu tahu, saya di sini untuk membantumu sembuh. Jadi, tolong beranikan dirimu untuk keluar dari dunia yang kamu buat sendiri ..."
"... sekarang, dalam hitungan ketiga, kamu akan kembali tersadar sepenuhnya dan kembali ke samping saya. Satu ... dua ... tiga." Lalu dengan satu jentikan jari, Arini membuka matanya. Dia menghela napas, kemudian beranjak dari posisi tidurnya. Arini duduk sambil menatap tajam pada saya.
Ini dia! Saya akan benar-benar menghadapi kemarahan Arini. Bukan sebagai Gracia atau Maria, melainkan Arini yang menunjukkan sisi dari dirinya yang penuh dengan amarah dan kebencian. Dia telah mengeluarkan sisi itu dengan berani, tanpa bersembunyi lagi dibalik Maria— sosok yang dia ciptakan sendiri dalam kepalanya.
"Arini, apa kamu sadar bahwa Gracia dan Maria tidak pernah ada?"
"Omong kosong! Mereka ada. Maria bahkan duduk di sampingku sekarang." Suara Arini kembali dingin seperti dulu.