Di dunia yang ini, saya melihat seorang gadis yang begitu hancur, dengan banyak luka yang terpancar dalam pendar matanya. Seorang gadis yang membawa banyak beban dan kekhawatiran dalam pundaknya, seorang gadis dengan banyak bekas luka pada pergelangan tangannya. Lalu di tengah sisa-sisa kekuatan dan tenaganya, dengan sangat berani gadis itu melangkah untuk menemui saya.
Di dunia yang ini, saya akan menyelamatkan gadis itu ....
***
Saya sedang fokus pada tumpukan laporan perkembangan kondisi para pasien yang saya tangani, ketika seorang teman bernama Kevin datang pada klinik pribadi milik saya. Beberapa bulan yang lalu, kami sempat menjadi kolega. Waktu itu, kantor polisi tempat Kevin bertugas, bekerja sama dengan rumah sakit tempat saya mengabdi. Untuk saya pribadi, pekerjaan dari kantor Kevin cukup menguras energi. Sebab saya harus memeriksa kondisi mental dari beberapa penjahat yang begitu mengerikan. Pembunuh bayaran, pembunuh ibu kandung sendiri, pembunuh teman kerja, bahkan pembunuh anak-anak kecil yang tidak berdosa pun, sudah pernah saya periksa. Para bedebah itu cukup menguras tenaga, hingga saya memutuskan untuk mundur dari kerja sama itu, dan merekomendasikan salah seorang psikiater pengganti.
Kemarin ketika Kevin datang ke kantor, saya sempat ingin mengusirnya. Sebab saya pikir, dia ingin membujuk saya untuk kembali bekerja sama dengan kantornya. Namun, ternyata saya salah. Kevin membawakan satu kasus yang cukup menarik untuk saya. Sekedar informasi, saya suka menolong orang-orang yang tidak memiliki cukup biaya untuk pergi ke rumah sakit untuk menemui psikiater. Saya memiliki 'Rumah Aman' yang memperbolehkan mereka yang membutuhkan bantuan, untuk datang secara cuma-cuma ketika saya tidak sedang bertugas di rumah sakit. Tidak ada alasan khusus untuk itu. Hanya saja, saya senang ketika melihat mereka kembali tersenyum bahagia. Senyum yang benar-benar bahagia, bukan senyum untuk menutupi luka.
Kevin bilang, ada seorang gadis bernama Arini yang mengaku melihat pembunuhan tepat di depan matanya. Sekilas, tidak ada yang aneh dari laporan itu. Hingga ketika saya membaca laporan yang diberikan oleh Kevin, saya mulai tertarik. Alasannya cukup sederhana. Yang pertama, korban yang disebutkan oleh Arini adalah dua orang dewasa dalam keadaan sehat, yang posturnya lebih besar dibanding pelaku. Yang kedua, tidak ada tanda-tanda perlawanan dari kedua korban. Mereka seolah menyerahkan nyawanya dengan senang hati pada pelaku. Yang ketiga, karena saya menyadari bahwa pembunuhan itu tidak benar-benar ada. Hanya ada dua alasan mengapa Arini melaporkan pembunuhan itu. Alasan pertama adalah bahwa mungkin Arini mencari perhatian, entah untuk apa. Alasan kedua adalah bahwa ada yang salah dalam diri Arini. Saya tidak ingin menyebutnya gila, karena saya tidak berhak untuk menghakimi seseorang seperti itu.
Jadi tanpa berpikir dua kali, saya meminta alamat Arini pada Kevin untuk mendatanginya. Ketika akhirnya saya bertemu langsung dengan Arini, saya menyadari bahwa Arini benar-benar butuh pertolongan. Terlihat ada banyak bekas luka di pergelangan tangannya. Namun, pasti tidak mudah membujuk Arini untuk melakukan konseling, terapi, atau bahkan pengobatan. Jadi, saya mengatakan padanya bahwa saya membutuhkan Arini untuk menceritakan soal pembunuhan itu dengan lebih detail dan lengkap. Pada awalnya Arini menolak dengan tegas, karena dia merasa sudah memberikan seluruh kesaksiannya pada Kevin. Lalu, saya mencoba untuk masuk ke dalam dunia yang dia buat. Saya bilang, bahwa saya membutuhkan kesaksiannya untuk menangkap Maria. Setelah memberikan kartu nama padanya, saya hanya bisa berharap bahwa Arini tidak akan membuang kartu nama itu dan benar-benar datang pada saya.
Hingga akhirnya, siang ini saya bisa bernapas lega, sebab Arini benar-benar datang ke Rumah Aman. Gadis itu, kini sedang duduk di hadapan saya.
"Halo, Arini. Nama saya Laras. Kamu bisa panggil saya Dokter Laras seperti pasien-pasien saya yang lain—"
"Aku bukan pasien."
"Atau kakak, karena kamu bukan pasien saya." Seseorang seperti Arini, cenderung tidak menyadari bahwa ada masalah dalam dirinya. Jadi alih-alih menganggapnya pasien, akan lebih baik untuk menempatkannya sebagai teman berbagi cerita. "Jadi, Arini, bisa kamu perkenalkan dirimu lagi? Saya hanya ingin memastikan bahwa tidak ada yang salah dari laporan yang Kevin berikan pada saya."
"Namaku Arini. Usiaku dua puluh enam."
Saya mengangguk, lalu tersenyum. Arini masih terlihat sangat tidak nyaman dengan saya, jadi saya harus melakukan pendekatan ekstra padanya. "Arini, boleh saya dengar soal latar belakang keluargamu?"
"Dokter tidak perlu tahu."
Jadi akhirnya dia memilih untuk memanggil saya ‘Dokter’?
"Kamu salah, Arini. Saya perlu mengetahui semuanya, untuk menyimpulkan alasan apa kira-kira yang Maria punya untuk membunuh ayahmu."
Arini bergeming di kursinya. Saya bisa melihat dengan jelas, bahwa pupil mata milik gadis itu terlihat bergetar. Arini tidak mau melihat saya secara langsung, dan terus menghindari kontak mata dengan saya. Sesekali dia tampak meremat jemarinya, atau terkadang mengopek ujung kukunya hingga memerah dan berdarah. Arini bukan satu-satunya pasien yang memiliki kondisi mental seperti itu. Saya sudah beberapa kali menghadapi hal serupa, jadi saya cukup paham mengapa orang-orang dengan kondisi seperti mereka sangat sulit untuk terbuka. Mereka cenderung menganggap orang lain tidak benar-benar peduli, jadi daripada menceritakan masalah yang mengganggu pikiran, mereka lebih suka untuk menutupinya.
"Arini, boleh saya tahu di mana pertama kali kamu bertemu Maria?"
"Di rumah, waktu Ayah dan Mama sering bertengkar."
Saya mengangguk paham. "Kalian berdua pasti sangat dekat."
"Bertiga. Bukan cuma Maria yang menjadi temanku sejak bertahun-tahun lalu. Ada Gracia juga. Kami selalu bertiga."
"Gracia?" Saya kembali tertarik.