Sesi hipnoterapi yang Arini jalani kemarin belum usai, sebab ia begitu takut pada sosok bayangan hitam yang katanya datang untuk mencekiknya. Pada beberapa kasus, hipnoterapi memang akan memperparah kecemasan pada pasien, tapi terapi itu tetap dibutuhkan untuk mengeluarkan segala perasaan cemas dan luka batin yang lama mengendap. Kecemasan yang menjadi lebih parah itu, tidak akan bertahan lama jika ditangani dengan tepat. Saya yakin, ketika Arini pulang ke rumahnya, dia akan bertemu dengan sosok bayangan hitam itu. Seumpama komputer, pikiran manusia memiliki program 'autopilot'. Sejak kecil, kita selalu diajarkan bagaimana caranya memakai sendok untuk makan, bagaimana caranya menggunakan sedotan, bagaimana caranya mengikat tali sepatu. Jadi, ketika sudah dewasa kita tidak perlu lagi mencari petunjuk cara penggunaan sendok, sedotan, atau bagaimana cara mengikat tali sepatu melalui internet, ketika hendak melakukan kegiatan-kegiatan itu.
Dalam kasus Arini, karena luka batinnya sudah terlampau lama menumpuk, pun dengan 'program' pikirannya yang menciptakan sosok bayangan hitam dalam kepalanya, Arini pasti akan kembali merasakan kehadiran sosok itu ketika saya mengulik cerita yang sudah ia pendam sendirian selama bertahun-tahun. Jadi, sebagai langkah pencegahan agar Arini tidak kembali tenggelam dengan ketakutannya akan sosok bayangan hitam itu, kemarin saya sudah memberinya sugesti yang saya harap cukup kuat untuknya.
"Arini, kamu tidak perlu takut pada sosok bayangan hitam itu. Kamu takut pada matanya yang berkilat-kilat? Saya punya sesuatu dengan cahaya yang lebih terang, yang bahkan bisa menghempaskan sosok bayangan hitam itu. Saya punya senjata itu di laci ini. Kita bisa menggunakannya kapan saja ketika sosok itu datang," ujar saya kemarin. Padahal, satu-satunya 'senjata' dengan cahaya terang yang saya punya di laci adalah sebuah senter.
"Tapi dia menakutkan, dia sering mencekikku."
"Kekuatan saya lebih besar daripada dia, Arini. Dia hanya sosok bayangan, kan? Saya punya tubuh yang bahkan bisa kamu sentuh. Dia tidak akan berdaya melawan saya. Dia memang berani padamu, karena dia tahu kamu tidak memiliki kekuatan untuk melawannya. Tapi, percayalah, Arini, sosok itu tidak akan berani melawan saya. Kalau nanti malam dia datang menemuimu, katakan bahwa kamu akan mengadukannya pada saya, dan saya bisa membasminya untukmu."
Namun, selain sugesti tadi, saya juga memberikan beberapa obat yang akan membantu Arini agar lebih tenang ketika serangan paniknya datang. Saya tahu bahwa saya harus menyadarkan Arini bahwa sosok bayangan hitam itu tidak pernah ada, bahwa sosok bayangan hitam itu adalah sosok yang dibuat oleh pikiran Arini sendiri. Namun, Arini masih belum siap untuk menerima itu. Saya masih harus ikut masuk ke dalam dunianya, agar dia bisa jauh lebih percaya pada saya. Tenang saja, saya tidak akan menjerumuskan Arini lebih jauh dari ini. Ini hanya sebuah metode yang saya gunakan untuk membantunya keluar dari dunianya. Akan terlalu sulit untuk Arini keluar dengan kemauannya sendiri, jadi saya perlu untuk menjemputnya keluar.
Hari ini, Arini kembali datang ke Rumah Aman. Itu tandanya kemauannya untuk menyembuhkan luka batinnya cukup kuat. Saya bersyukur untuk itu. Satu hal yang membuat saya yakin bahwa Arini telah mengubur luka itu dalam-dalam adalah karena kemarin dia menceritakan soal masalah peliknya dengan santai dan tanpa air mata. Akan lebih baik jika Arini bisa menceritakan pengalaman pedih itu sambil berderai air mata, karena tandanya dia masih bisa mengekspresikan emosinya.
Sama seperti kemarin, hari ini Arini datang dengan wajah dinginnya. Tidak ada senyuman di sana, dan dia terlihat tidak tertarik sama sekali pada apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Tidak apa-apa, saya akan membantunya perlahan.
"Sudah siap untuk sesi hari ini, Arini?"
Dia hanya mengangguk.
"Bagaimana semalam? Apa sosok bayangan hitam itu datang lagi?"
"Dia tidak datang, tapi aku bisa dengar dia berteriak dan tertawa di dalam kepalaku."
"Bagaimana dengan Maria dan Gracia? Apa mereka datang?"
"Hanya Gracia yang datang. Kemarin bahkan dia ikut ke sini."
Saya mengangguk. Arini baru saja duduk di sofa panjang dan menyandarkan tubuhnya. Dia sudah sepenuhnya siap untuk sesi hari ini. Sama seperti kemarin, saya meminta Arini untuk menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Lalu, saya memintanya untuk 'mengisi' seluruh tubuhnya dengan udara.
"Apa kamu sudah jadi balon yang ringan, Arini?"
Dia mengangguk.
"Jadi, kali ini kita berada di lantai berapa?"
Arini diam. Untuk sejenak, dia tidak menjawab pertanyaan saya. Hingga beberapa saat kemudian, saya baru saja membuka mulut untuk memanggil nama Arini, ketika kemudian raut wajah Arini berubah ceria. Dengan matanya yang masih tertutup, Arini tersenyum dengan begitu manis.
"Halo, Dokter Laras. Saya senang bertemu denganmu."
Saya mengernyitkan dahi. Cara berbicaranya berubah. Arini terdengar lebih formal dan ... ceria!
"Oh, hai. Saya juga senang bertemu denganmu."
"Apa Dokter Laras mengetahui siapa saya?"