Hari ini seharusnya Arini datang kembali ke Rumah Aman untuk melanjutkan sesi terapinya. Saya sedang tidak ada jadwal praktek di rumah sakit, jadi saya berada di Rumah Aman sepanjang waktu sambil menunggu kedatangan Arini. Namun, hingga waktu menunjukkan pukul enam petang, Arini belum juga datang menemui saya. Padahal kemarin kami sudah berjanji untuk bertemu pada pukul tiga sore. Karena mulai khawatir, saya memutuskan untuk menyalakan mesin mobil dan meninggalkan Rumah Aman untuk menemui Arini. Sayangnya, pada jam-jam seperti ini jalanan protokol cukup padat, jadi saya tidak bisa sampai di rumah Arini dengan cepat. Saya bahkan harus berkali-kali membunyikan klakson, sebab ada begitu banyak pengendara lain yang mengemudi dengan asal-asalan. Biasanya hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk saya sampai ke kediaman Arini, tapi kali ini saya bahkan baru sampai setelah satu setengah jam.
Setelah mematikan mesin dan memastikan pintu mobil terkunci sempurna, saya berjalan perlahan memasuki sebuah gang sempit untuk menuju tempat tinggal Arini. Kawasan ini sepertinya cukup sepi. Sepanjang saya berjalan, hanya terlihat tiga bapak-bapak yang sedang bercengkrama di depan sebuah rumah yang tidak jauh dari kediaman Arini. Saya hanya butuh waktu kurang dari lima menit, untuk sepenuhnya sampai di depan sebuah rumah dengan pagar berwarna hitam. Pertama kali saya datang ke rumah ini, adalah ketika Kevin memberitahu saya tentang kasus Arini. Jadi, hari ini saya tidak perlu lagi bertanya kesana-kemari tentang alamat yang saya tuju.
Saya sempat bergeming sejenak, saat mendapati tempat tinggal Arini gelap gulita. Kemudian, saya mulai membuka pagar di hadapan saya perlahan. Suara langkah kaki saya terdengar cukup jelas, diiringi suara jangkrik yang saling bersahutan di kanan dan kiri. Sampai di depan pintu rumah, saya mulai mengetuk. Berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Di sisi kanan, ada sebuah jendela yang terlihat terbuka. Saya mendekat pada jendela itu perlahan, lalu sedikit menyingkap tirai di bagian dalam yang menutupi jendela itu. Keadaan di dalam rumah cukup gelap, jadi saya memicingkan mata agar bisa melihat lebih jelas. Sayangnya, hal itu berujung sia-sia karena saya tidak melihat apa-apa, kecuali siluet perabotan yang berada di dekat jendela.
Setelah merogoh kantong celana yang saya kenakan, saya mengeluarkan ponsel dan menyalakan lampu senter. Sambil memanggil nama Arini, saya terus menyorot ke setiap sudut rumah melalui celah jendela itu. Jendela pada rumah Arini adalah jendela dengan model bukaan bawah yang terhubung dengan engsel panjang, jadi akan sulit untuk memasuki rumah itu melalui jendela, sebab celahnya yang terbatas. Biasanya, jendela jenis ini hanya berfungsi untuk memasukkan sedikit udara, bukan tipe jendela yang bisa memasukkan cahaya matahari dari luar rumah.
Saya terus menyorot setiap sudut rumah dengan senter dari ponsel milik saya, hingga akhirnya saya bisa menangkap sosok Arini yang sedang duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Dia berada di ruang tengah, bersandar pada dinding, dan menenggelamkan kepalanya pada sela-sela kedua lengannya.
"Arini!" panggil saya dengan suara yang sedikit lebih kencang. "Ini saya, Laras. Tolong buka pintunya."
"Arini!"
Tidak ada jawaban meski saya sudah memanggilnya berkali-kali. Karena khawatir hal buruk terjadi padanya, saya memutuskan untuk beranjak dan berjalan cepat menuju bapak-bapak yang sedang bercengkrama tadi.
"Bertahanlah, Arini ... bertahanlah, Arini ...." Saya terus menggumamkan hal itu sambil terus berjalan cepat, meski saya sendiri belum tahu apa yang terjadi pada gadis malang itu. Nafas saya sedikit terengah, ketika akhirnya langkah kaki saya berhenti tepat di hadapan ketiga bapak-bapak tadi.