Noir

Marindya
Chapter #22

18 || Di Bawah Pohon Ketapang

Saya datang pagi-pagi ke rumah sakit untuk kembali menemui Arini yang sedang dirawat. Semalam, Arini ditempatkan pada ruangan khusus. Tidak boleh ada benda tajam atau barang pecah belah di ruangan Arini, sebab saya sudah menjelaskan soal kondisi mentalnya pada dokter dan para perawat yang berjaga tadi malam. Kami harus menjaga Arini agar dia tidak melukai tubuhnya sendiri. Para perawat pun, bergantian untuk memeriksa keadaan Arini setiap dua jam. Arini sedang duduk sambil menatap pergelangan tangannya, ketika saya membuka pintu ruang rawatnya. Dia tidak terganggu sama sekali. Dia sama sekali tidak menoleh meski pintu ruangannya dibuka.

Setelah menempatkan sebuah kursi di samping ranjang Arini, saya duduk dan bersandar. Sementara Arini— dia masih bergeming sambil terus menatap pergelangan tangannya. Luka sayatan yang terlihat baru itu tidak cukup dalam untuk membuatnya mati atau kehabisan darah. Jadi, bisa saya simpulkan bahwa Arini melukai pergelangan tangannya karena butuh pelampiasan atas perasaan kalutnya, bukan untuk membunuh dirinya sendiri. Saya sangat bersyukur untuk itu. Bermenit-menit menatap Arini yang tak acuh, saya menggenggam tangan kirinya agar mendapat atensi dari Arini. Gadis itu lantas menoleh, masih dengan tatapan kosongnya.

"Bagaimana perasaanmu hari ini, Arini?" tanya saya sambil menggenggam tangannya. Namun, Arini tetap menutup rapat mulutnya. Dia hanya memandangi saya tanpa minat untuk mengatakan sesuatu.

"Saya kira kita sudah berteman," kata saya lagi, "kemarin saya bahkan sudah bertemu dengan Gracia."

Arini membalas genggaman tangan saya. Meski terasa begitu lemah, saya masih bisa merasakan genggaman tangan itu. "Mau pulang," katanya.

"Kenapa? Saya pikir perut kamu sakit, jadi kamu harus di sini untuk diobati."

"Maria tidak suka Dokter Laras. Dia tidak mau aku bertemu dengan Dokter Laras lagi."

"Apa alasan Maria tidak menyukai saya?"

"Katanya ... Dokter Laras menganggapku gila."

Saya tersenyum, lalu menepuk pelan punggung tangan Arini. "Tidak ada yang menganggap kamu gila, Arini. Maria hanya salah paham. Apa mereka ada di sini sekarang? Maksud saya, Maria dan Gracia. Apa mereka datang menjengukmu?"

"Hanya ada Maria. Gracia tidak pernah datang lagi sejak aku menulis surat yang dia mau."

Bagus. Sepertinya saya hampir berhasil. Sedikit lagi, Arini pasti bisa keluar dari dunia yang dia buat sendiri.

"Apa saya boleh bertemu Maria?"

Arini mengalihkan pandangannya pada kursi kosong di dekat pintu masuk. Setelah beberapa saat menatap kursi itu, dia menjawab, "tidak. Katanya, Maria tidak mau bertemu dengan Dokter Laras."

Lihat selengkapnya