Noir

Marindya
Chapter #24

20 || Teman Baik

Arini akhirnya diperbolehkan untuk pulang setelah dirawat selama empat hari. Menurut dokter yang menanganinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam tubuh Arini. Kondisi tubuhnya dalam keadaan normal, dan Arini hanya perlu mengelola stres agar kesehatannya tidak kembali menurun. Seperti yang kita semua tahu, mengelola stres bukanlah perkara yang mudah. Namun, melihat bagaimana saat ini Arini berdiri di depan pintu Rumah Aman, membuat saya yakin bahwa Arini sudah satu langkah lebih maju. Dia sudah melewati fase denial— fase dimana biasanya pasien akan menolak untuk menyadari bahwa batinnya sedang tidak baik-baik saja, dan membutuhkan pertolongan. Saya sangat bersyukur untuk itu. Arini akhirnya mau membuka dirinya lebih banyak lagi pada saya.

Lagi-lagi, kami tidak akan melakukan sesi hipnoterapi hari ini, sebab saya khawatir kondisi tubuh Arini akan kembali menurun. Jadi, untuk sementara saya memutuskan untuk membuat Arini bicara lebih banyak tanpa hipnoterapi. Menurut pengakuan Arini, Gracia sudah tidak pernah datang lagi semenjak dia menuliskan surat. Sementara Maria, masih terus berada di sisi Arini seperti biasa. Suara-suara dalam kepalanya sudah banyak berkurang, meski terkadang suara itu masih datang mengganggu sesekali.

Kini Arini sudah duduk di hadapan saya, sambil memegang sebuah pena. Di atas meja tepat di hadapannya, buku catatan kecil milik Arini sudah terbuka pada halaman ketiga. Saya menyadari bahwa dalam kesadaran penuh seperti ini, Arini akan sulit untuk bercerita lebih banyak. Jadi, buku catatan itu akan sedikit membantu kami, sebab biasanya seseorang akan lebih nyaman untuk menuliskan apa yang berada di dalam pikirannya, daripada mengungkapkannya langsung secara gamblang.

'Bagaimana perasaanmu hari ini?'

-Lelah.

'Apa hal-hal yang selalu kamu yakini tentang dirimu?'

-Aku bodoh.

-Aku tidak berharga.

-Aku merupakan beban untuk semua orang.

Saya terus memperhatikan Arini yang sedang fokus menuliskan jawaban-jawabannya pada setiap lembar halaman yang dia balik. Saya sungguh berharap metode ini akan memberikan hasil baik untuknya. Lalu setelah membaca satu per satu jawaban Arini pada buku catatan itu, saya menemukan bahwa ada banyak 'PR' yang harus kami selesaikan. Seperti biasa, saya akan menguraikannya satu per satu untuknya. Sampai Arini paham, bahwa dalam hidup, setiap manusia memiliki luka. Bahwa dalam hidup, kita harus bisa menerima setiap luka dan berjalan beriringan dengannya, sampai kita bisa menemukan jalan untuk menyembuhkan luka itu.

"Kalau kamu ingin lepas dari rasa lelah, Arini, coba lepaskan perlahan apa yang selalu mengganggu pikiranmu. Kalau itu terlalu sulit, coba pikirkan hal-hal baik yang terjadi hari ini. Misalnya, kamu makan nasi uduk yang enak untuk sarapan, pikirkan bagaimana rasa enak dari nasi uduk yang mampu membuat suasana hatimu sedikit lebih baik itu. Atau kamu membelai kucingmu dan bercanda dengannya, pikirkan bagaimana kucingmu bertingkah manja hingga bisa membuatmu tertawa, atau hal-hal kecil lain yang membuat perasaanmu hangat. Apa ada hal-hal seperti itu selama kamu berjalan menuju ke sini tadi?"

Dia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Tadi aku kesulitan menyeberang jalan, lalu ada seorang tukang parkir yang membantuku. Dia laki-laki dengan senyuman hangat. Dia bahkan bilang, 'hati-hati di jalan, Nak' setelah aku mengucapkan terimakasih. Senyuman dan kalimat yang dia ucapkan rasanya masih melekat dalam kepalaku sekarang."

"Nah, kamu bisa memikirkan perasaan hangat itu. Pikirkan bagaimana tulusnya senyuman dan kalimat dari seorang tukang parkir tadi. Lalu, temukan hal kecil lain selama perjalanan pulang ke rumah nanti. Pikirkan hal-hal baik itu sepanjang hari sampai kamu tidur malam nanti. Kalau kamu bisa melakukannya, saya yakin hal-hal buruk di dalam kepalamu lama-lama akan berganti dengan hal baik. Lalu, lama-lama lelah yang kamu rasakan juga akan hilang. Menurutmu, apa kamu bisa melakukannya?"

"Bisa atau tidak, aku tetap harus melakukannya, kan?”

Mendengar pertanyaan Arini, saya tersenyum dan mengangguk. Dia seolah tahu bahwa tidak ada pilihan lain, selain mencoba apa yang saya sarankan untuknya. Kemudian, saya kembali membalik halaman buku catatan itu, lalu membaca jawaban Arini selanjutnya.

"Arini, kenapa kamu berpikir bahwa kamu bodoh?"

Lihat selengkapnya