Noir

Marindya
Chapter #25

21 || Tidak Ada Keluarga yang Pantas Dibuang

Saya sudah bisa mengatakan bahwa perkembangan kondisi Arini sangat baik sejauh ini. Dia berhasil melawan suara-suara yang berada di dalam kepalanya, dan terus menemui saya. Suara itu— menurut Arini, sudah tidak ada lagi. Hanya Maria yang masih ada di sekitar Arini dan terus mengikutinya kemanapun Arini pergi. Saya tahu bahwa menghilangkan Gracia dan suara di dalam kepalanya tidaklah mudah, tapi dia berhasil melakukannya. Jadi, saya tidak akan terburu-buru untuk menghilangkan Maria juga. Arini masih sesekali meraung sambil memukul dadanya, atau menjambak rambutnya ketika ingatan pahit tentang masa lalunya kembali menghampiri. Kabar baiknya adalah; Arini sudah tidak lagi melukai tubuhnya. Satu-satunya yang dia lakukan untuk menyakiti dirinya sendiri adalah menjambak rambutnya. Saya juga akan menghilangkan kebiasaan itu pelan-pelan. Untuk raungan Arini, seperti yang pernah saya bilang, sangat bagus untuk mengeluarkan perasaan dan emosinya dengan menangis atau berteriak. Dia akan merasa lebih baik dan lebih baik lagi setiap harinya, hanya dengan mengeluarkan emosi-emosi itu perlahan, sambil terus menggali dan mengobati lukanya satu-satu.

Sekarang kami sudah duduk berhadapan, dan Arini sudah membuka halaman kelima dari buku catatannya. Dia menghela napas sebentar, sebelum akhirnya mulai menuliskan jawabannya seperti biasa. 'Siapa orang yang paling kamu benci? Mengapa kamu sangat membencinya?', adalah pertanyaan saya pada halaman kelima.

- Ayah. Aku benci Ayah karena dia sudah menghancurkan hidupku. Aku tidak punya keluarga utuh yang bisa dijadikan tempat pulang. Mama dan Edgar memiliki masalah pribadinya masing-masing, jadi aku tidak bisa pulang dan bersandar pada mereka. Ayah menghancurkan rumahku, dan membuat hidupku kehilangan arah.

Saya sangat paham mengapa Arini begitu membenci ayahnya. Dia adalah sumber dari segala luka dalam batin Arini. Respons alami manusia ketika menerima kekecewaan adalah sedih, atau bahkan marah. Kemarahan yang menumpuk dalam diri manusia, pada akhirnya akan berubah menjadi sebuah kebencian. Namun, bukan berarti kita tidak bisa menghilangkan perasaan itu. Kita juga bisa menguraikannya satu per satu, sampai kemarahan itu perlahan menjadi penerimaan, dan kebencian dalam dirinya perlahan menghilang.

"Apa yang membuatmu paling marah ketika mengingat soal Ayah?" tanya saya ketika Arini sudah selesai menuliskan jawabannya.

"Dia lebih membela istrinya daripada anak-anaknya. Dia rela meninggalkan anak-anaknya demi perempuan yang baru dia kenal. Ayah bahkan tidak peduli lagi pada aku dan Edgar, dan memilih untuk terus hidup bersama perempuan itu. Dia bahagia sendirian, tanpa berpikir gimana anak-anaknya harus terus menjalani hidup tanpa dampingan Ayah."

"Jadi kamu pikir ayahmu bahagia dengan pilihannya?"

"Pasti. Dia pasti bahagia dengan keluarga barunya."

Lihat selengkapnya