Meyakinkan Arini bahwa Maria tidak benar-benar ada bukanlah perkara yang mudah. Melihat bagaimana dia melontarkan banyak sekali kekesalannya selama sesi hipnoterapi kemarin, saya tahu betul bahwa sisi Maria sudah mendominasi Arini selama bertahun-tahun. Dia penuh kemarahan dan kebencian. Jika sisi Maria dibiarkan untuk terus berada di dalam kepala Arini, dia akan kesulitan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam dirinya. Hari ini, saya ingin memancing Maria untuk kembali keluar. Jadi ketika Arini sudah berada pada kondisi paling rileks, saya mencoba untuk 'memanggilnya' keluar. Setelah memberikan sugesti pada Arini untuk menekan tombol lift yang berada di dalam alam bawah sadarnya, saya memanggilnya dengan nama Maria.
"Di lantai berapa kita sekarang, Maria?" tanya saya.
"Maria? Aku Arini. Kenapa Dokter Laras panggil aku Maria?"
"Ah, Arini. Maaf, saya salah menyebutkan nama." Sejujurnya, saya sedikit kecewa karena Maria tidak muncul kali ini. Padahal saya ingin mendengar lebih banyak dari Maria. Dia masih harus mengeluarkan lebih banyak pikiran-pikiran terpendam Arini yang membuatnya hidup dalam kebencian selama bertahun-tahun. Namun, tak apa. Saya masih bisa memancing Arini untuk mengeluarkan emosi-emosi lainnya yang dia pendam. "Jadi, ada di lantai berapa kita kali ini, Arini?" tanya saya lagi.
"Lantai empat belas, Dok."
Saya mengernyit. Kami kembali pada Arini yang berusia empat belas tahun lagi. Apa ada hal lain yang belum Arini sampaikan pada saya soal keluarganya?
"Pemandangan apa yang kamu lihat?"
"Ada Edgar yang bersiap untuk pentas seni di TK-nya. Dia akan menari dengan beberapa temannya."
"Kamu merindukan Edgar?"
Dia mengangguk pelan, lalu mulai terisak. "Ada banyak hal yang aku sesali soal Edgar. Harusnya aku bisa jadi kakak yang lebih baik untuk dia. Meluangkan lebih banyak waktu, menemani Edgar bermain dan membiarkan dia menonton kartun kesukaannya tanpa merebut remot TV yang dia pegang. Kalau boleh minta, aku ingin menukarkan seluruh hidupku untuk kebahagiaan Edgar ..."