Hai! Apa kabar? Aku sendiri baik, semoga kamu juga begitu. Aku sudah tidak lagi melihat kehadiran Maria dan Gracia, meski suara-suara dalam kepalaku masih sesekali datang menghampiri. Perasaanku yang kebas itu, perlahan sudah menemukan kehangatan. Aku sudah bahagia. Aku juga sudah menemukan penerimaan itu. Sungguh. Aku sudah bisa menerima bahwa kehidupanku tidak akan sama lagi seperti sebelumnya, bahwa rumahku sudah tidak hangat lagi seperti dulu. Hari ini, di tengah kesendirianku, aku membersihkan tiap sudut rumah yang kini aku tinggali. Aku berharap, semoga kesakitan dan semua kemarahan yang tersisa, akan turut menghilang bersama debu-debu yang tersapu.
Pada sebuah kotak yang kusimpan rapi di atas lemari, aku menemukan beberapa surat yang kutulis sepanjang masa penyembuhanku. Sebelum aku pulang dari rumah sakit, Dokter Maudi memberikan surat-surat ini untuk kusimpan. Katanya, Dokter Laras juga menitipkan beberapa lembar yang pernah aku tulis saat masih berkonsultasi dengannya dulu. Surat-surat ini, menjadi saksi atas besarnya perjuanganku untuk terus hidup dan menemukan kesembuhan. Kini, setelah meletakkan sapu yang tadi kupegang, aku memilih untuk duduk pada sebuah kursi di dalam kamar. Lalu, aku membaca satu per satu surat dalam kotak ini.
Dari Gracia,
Untuk Kesayanganku, Kecintaanku, yang kupanggil Ayah
Ayah, terimakasih sudah menjadi ayah yang baik. Aku bahagia karena ada Ayah di hidupku.
Aku masih ingat waktu pertama kali ayah mengajarkanku bermain sepeda di samping rumah. Waktu itu, Ayah mengajarkan aku dengan begitu sabar. Aku masih ingat bagaimana cara Ayah memegang sadel sepeda agar aku tidak jatuh. Karena pegangan tangan Ayah waktu itu, aku berhasil mengayuh sepeda dengan jarak yang lumayan jauh. Aku juga masih ingat Ayah berteriak dan bersorak, "Gracia bisaaa! Anak Ayah hebat! Anak Ayah sudah tidak perlu memakai roda tambahan lagi! Anak Ayah pintar!". Aku juga masih ingat dengan jelas, waktu Ayah menggendongku dan mengayunkan tubuhku. Hari itu, aku berhasil mencabut gigiku dengan bantuan Mama. Aku masih mengingat jam alarm berbentuk terompet, yang Ayah berikan sebagai kado ulang tahun. Aku sangat menyukainya.
Ayah, terimakasih karena sudah menjemputku di tempat kursus matematika ku, karena aku sedang demam hari itu. Terimakasih karena sudah mengajakku pergi ke kebun binatang dan melihat banyak sekali hewan yang sebelumnya hanya bisa aku lihat melalui televisi, atau buku pelajaran. Ayah, terimakasih untuk buah melon pertama yang Ayah belikan untukku. Aku masih ingat betapa manisnya buah itu. Maaf, Ayah. Maaf karena merengek untuk dibelikan buah melon itu, padahal hari itu Ayah sedang tidak memiliki uang. Gracia sayang Ayah, dan akan selalu begitu. Semoga Ayah juga menyayangi Gracia selamanya.
Dari Arini di lantai 26,
Untuk Arini di lantai 14
Hai, Arini! Bagaimana perasaanmu hari ini? Aku yakin pasti tidak baik. Rin, terimakasih karena terus berjalan meski langkahmu terseok. Terimakasih sudah bertahan dan yakin bahwa hari-hari baik juga akan datang menghampirimu. Kalau saja kamu tahu bahwa dirimu di lantai dua puluh enam merupakan gadis kuat yang kokoh, kamu pasti akan sangat senang. Arini, aku bangga padamu yang terus menerjang segala badai tanpa pernah mundur. Aku bangga padamu yang berkali-kali mengusap air matamu sendiri, dan meyakinkan diri bahwa kamu akan terbang tinggi suatu saat nanti. Terimakasih, Arini. Terimakasih atas bahu kuat yang kamu hadiahkan untuk Arini yang kini berada di lantai dua puluh enam. Terimakasih karena terus hidup dan bernafas. Aku menyayangimu lebih dari apapun yang ada di bumi. Hei! Tegakkan bahumu, kamu gadis hebat dan keren!