Dari Arini, Untuk Dokter Laras.
Tidak ada yang bisa aku ucapkan selain terimakasih. Terimakasih karena sudah berusaha untuk menyembuhkan aku yang katanya sedang terluka ini. Terimakasih, karena sudah mau mendengar cerita panjang soal keluargaku yang berantakan. Tapi, Dok, kalau Dokter Laras bilang bahwa Maria hanya ada di dalam kepalaku, aku tidak setuju. Maria benar-benar ada dan wujudnya bisa kulihat dengan jelas. Dia bahkan ada di sini sekarang, melihat aku yang sedang menuliskan surat untuk Dokter Laras. Tidak ada yang salah dari Maria. Dia tidak jahat, dan selalu ada untuk menemaniku. Jadi, Dok, aku akan berhenti di sini. Aku tidak bisa lagi berbagi cerita dengan orang yang bahkan tidak percaya dengan ucapanku. Setelah ini, aku dan Maria akan kembali ke desanya dan mencari keberadaan Gracia. Sekali lagi, terimakasih.
Lalu ... mari kita lihat, Dokter Laras atau Maria yang katanya berada di dalam kepalaku, yang akan menang dalam pertarungan ini ....
Sementara beberapa lembar yang lain, hanya berisi satu kata yang ditulis secara berulang. Mati, mati, mati, mati, mati, mati. Begitu seterusnya, hingga lembar yang terakhir. Setelah membaca surat dari Arini, saya bergegas pergi dari Rumah Aman untuk mengejarnya. Biasanya Arini pulang dengan angkutan umum, jadi seharusnya dia belum jauh dari sini. Namun, sayangnya jalanan protokol selalu padat pada jam-jam pulang kantor begini. Saya bahkan tidak tahu angkutan mana yang ditumpangi oleh Arini tadi. Jadi, yang bisa saya lakukan hanya terus melajukan mobil milik saya untuk menuju ke tempat tinggal Arini, sambil berharap bahwa Arini tidak akan melakukan hal-hal yang buruk.
Namun, sepertinya Tuhan ingin segera mematahkan harapan saya. Sekitar seratus meter dari Rumah Aman, saya melihat orang-orang sedang bergerombol pada pagar pembatas sungai. Isi kepala saya terlalu kalut untuk berpikir positif. Jadi tanpa berpikir panjang, saya segera menepikan mobil dan mendatangi gerombolan orang itu. Saya bertanya pada beberapa orang yang berada di sana, tentang apa yang sedang terjadi. Jawaban dari orang-orang itu, tepat seperti apa yang saya takutkan. Katanya, baru saja ada seorang gadis yang melompat ke dalam sungai itu. Sungai yang berada di hadapan saya ini, merupakan sungai yang cukup luas dan dalam, yang terhubung dengan sungai brantas. Di sungai itu, biasanya banyak orang yang berburu cacing, dengan berbekal ban bekas sebagai pelampung, juga jaring khusus untuk menangkap cacing. Saat ini, beberapa dari mereka sedang menyelam untuk mencari keberadaan Arini. Beruntung, ketika Arini melompat tadi para pemburu cacing itu sedang berada di tepi sungai dan bersiap-siap untuk memulai pekerjaan mereka. Jadi, menurut beberapa orang di sana, tidak akan terlalu sulit untuk menarik Arini keluar dari sungai besar itu.
Dan benar saja, tidak butuh waktu lama bagi para pemburu cacing untuk menemukan Arini dan membawanya ke permukaan. Meski begitu, Arini terlihat tidak sadarkan diri. Saya segera menawarkan diri untuk membawa Arini ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan mobil yang saya bawa. Menurut saya, akan terlalu lama untuk menunggu ambulans datang. Saya tidak mau Arini terlambat ditangani. Setelah salah seorang pemburu cacing memompa dada Arini untuk memastikan tidak ada air yang masih tersisa di dalam tubuhnya, dia segera menggendong Arini ke dalam mobil saya. Beberapa tukang ojek yang kebetulan sedang berada di tempat kejadian, turut membantu saya untuk membuka jalan. Mereka membunyikan klakson dan meminta orang-orang untuk menyingkir agar saya bisa membelah kemacetan sore itu. Sepertinya, kali ini pun Tuhan masih ingin Arini berada di dunia ini.
Berkat bantuan dari beberapa tukang ojek tadi, saya berhasil sampai ke rumah sakit dengan cepat tanpa terjebak di tengah kemacetan. Arini segera ditangani oleh seorang dokter dan beberapa perawat yang membantu. Mereka memasangkan selang oksigen dan infus pada Arini. Setelah dokter memeriksa dengan seksama, untungnya tidak ada air yang masuk ke dalam paru-paru Arini. Jadi, nyawanya tidak terancam. Saya sungguh bersyukur untuk itu.
Kemudian, setelah berada di ruang observasi selama tiga jam, Arini akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Namun, dalam perjalanan menuju ruang perawatan itu, Arini mendapatkan kembali kesadarannya dan memberontak. Dia bahkan berusaha mencabut infusnya dan berteriak pada beberapa perawat yang membawanya. Darah segar terlihat mengalir dari punggung tangan Arini. Salah seorang perawat, berlari untuk mengambil jarum suntik dan obat penenang. Hingga dalam hitungan detik, Arini sudah mulai terlihat tenang dan kembali memejamkan matanya setelah disuntik dengan obat penenang. Lalu, saya memutuskan untuk menemui dokter yang tadi menangani Arini dan menjelaskan tentang kondisinya.