Di dunia yang ini, seorang gadis berjalan tertatih pada ujung sebilah pedang tajam, yang membuat kakinya berdarah-darah. Di dunia yang ini, gadis itu adalah seorang pemeran yang paling cakap ....
***
Ada satu kalimat bijak yang sering Maudi temukan, ketika dirinya membuka sosial medianya. 'Sejauh apapun kita melangkah, tempat pulang yang paling baik dan nyaman adalah keluarga', begitu kira-kira bunyinya. Namun, melihat bagaimana kini Arini terbaring sendirian dengan tangan dan kakinya yang terikat pada pinggiran ranjang rumah sakit, membuat Maudi bertanya-tanya, apakah semua keluarga layak untuk dijadikan tempat pulang? Bagaimana jika keluarga adalah alasan paling besar yang membuat seseorang terluka? Bagaimana jika keluarga adalah alasan paling kuat untuk seseorang mengakhiri hidupnya sendiri? Bukankah tidak adil untuk meminta orang itu agar berdamai dengan lukanya dan melupakan hal-hal menyakitkan tentang keluarganya? Tidak. Semesta memang tidak pernah adil. Manusia harus tetap berdiri kokoh melawan takdir menyakitkan yang tidak pernah mereka inginkan. Meski dengan kaki gemetar, meski telah babak belur, hidup harus terus berjalan— dan mau tidak mau, manusia harus berdamai dengan ketidak adilan semesta.
Kabar baiknya, manusia adalah makhluk paling kuat yang Tuhan ciptakan. Jadi tidak peduli seberapa berat hidupnya— asal terus berjalan ke depan, mereka akan melewati setiap kesulitan dalam hidup. Meski tertatih, atau bahkan meski harus merangkak, manusia sejatinya memiliki naluri untuk bertahan hidup. Bedanya, beberapa dari mereka memilih untuk kalah dalam pertarungan hidup itu. Mereka memilih jalan yang dianggap mudah dan menentang takdir Tuhan dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Sementara beberapa yang lainnya memilih jalan yang lebih sulit dengan terus berjuang, sampai Tuhan berkata bahwa pertarungan mereka telah usai, dan mereka bisa pulang dengan damai.
Bermenit-menit setelah Maudi duduk di samping ranjang Arini, ia melihat gadis itu mulai membuka matanya perlahan. Arini melirik sekilas pada Maudi, sebelum akhirnya memutuskan untuk terus menatap langit-langit ruang perawatan itu. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh gadis yang kini berwajah pucat itu. Tangan dan kakinya masih terikat, mulutnya terasa berat untuk membuka. Tidak heran, karena sejak sampai di rumah sakit semalam, Arini sudah dua kali disuntik obat penenang, karena dia terus memberontak dan berusaha melarikan diri.
"Bagaimana perasaanmu hari ini, Rin?" tanya Maudi. Sementara di hadapannya, Arini bergeming. Ia terlihat tidak tertarik sama sekali untuk menjawab pertanyaan yang baru saja ia dengar. Air matanya menetes begitu saja, membasahi kedua pelipis miliknya. Dalam bayangannya, Maria dan Gracia sedang duduk di sofa yang berada di sudut ruangan itu.
"K-kkke—" Arini berusaha membuka mulutnya untuk berbicara dengan Maudi. Meki tertatih, Arini terus berusaha untuk berbicara. "Kenapa kalian tidak membiarkanku mati?" kata Arini dengan suara lemah dan terbata, setelah berusaha sekuat tenaga untuk terus membuka mulutnya.
"Arini, kamu bukan Tuhan yang berhak untuk menghilangkan nyawa atau memutus kehidupan. Tidak ada yang baik dari bunuh diri." Maudi menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Arini. "Saya Maudi, yang akan menggantikan Dokter Laras."
Arini kembali diam dan terus menatap pada sofa panjang di ujung ruangan itu. Melihat hal itu, Maudi menyalakan kamera yang dia bawa, lalu meletakkannya di meja yang berada di belakangnya.
"Kamu melihat Maria dan Gracia di sini?" tanya Maudi, lalu Arini mengangguk. "Apa yang mereka katakan?"
"Mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka hanya menatapku."
"Suruh mereka mendekat ke sini, Rin."
"Gracia, apa kamu ... baik-baik saja?" kata Arini lagi. Detik berikutnya, Arini tampak menolehkan kepalanya pada sisi kiri ranjang. Bisa Maudi tebak, bahwa kini Maria dan Gracia berada di tempat itu.
"Apa mereka berada di samping sana, Rin?" tanya Maudi memastikan, lalu Arini kembali mengangguk.
"Tolong ...." Arini menatap Maudi dengan matanya yang basah. "Tolong lepaskan ikatan tangan dan kakiku."