Arini sedang duduk di atas kursi roda, dengan Maudi yang menemani di sampingnya. Hari ini Maudi memutuskan untuk melepas ikatan pada kedua tangan dan kaki Arini, karena ia sudah tidak lagi memberontak seperti kemarin. Meski begitu, Arini masih berada di ruangan khusus dengan penjagaan yang lebih ketat, dan ia dilarang untuk keluar dari ruangan itu tanpa pengawasan. Maudi sungguh tidak ingin kejadian tentang salah satu pasiennya yang melakukan tindakan bunuh diri di masa lalu kembali terulang, jadi ia akan memastikan untuk benar-benar membantu Arini sampai gadis itu sembuh.
"Aku sudah memilih untuk meyakini bahwa Maria dan Gracia tidak pernah ada. Tapi mereka masih di sini dan terus mengikutiku. Apa yang salah?" tanya Arini, ketika Maudi mengambil tempat untuk duduk di sampingnya.
"Maksudmu saat ini mereka ada di sini bersama kita?"
Arini mengangguk. "Mereka terus mengikutiku dan mengatakan bahwa aku tidak punya siapa-siapa selain mereka berdua. Gimana kalau itu benar? Maksudku— aku tidak punya siapa-siapa selain mereka."
"Kamu sudah mengambil langkah yang baik dengan meyakini bahwa mereka tidak nyata, Rin. Dan saya tahu bahwa hal itu tidaklah mudah. Meski begitu, akhirnya kamu tetap bisa melakukannya, kan? Kamu berhasil untuk memilih percaya bahwa mereka tidak nyata, bahkan meski mereka masih ada di sini bersamamu." Maudi menoleh untuk menatap Arini yang terus memandang jauh ke depan. "Alasan mengapa Maria dan Gracia masih berada di sini bersamamu, adalah karena kamu belum bisa menerima keadaan yang berjalan di sekitarmu. Kamu belum menerima bahwa hidupmu sudah tidak lagi sama seperti dulu dan kamu masih merindukan ayahmu— tapi sayangnya, kamu tidak bisa mengatakannya. Kamu juga masih sangat marah pada ayahmu, karena menganggap dia adalah sumber dari kehancuran hidupmu. Apa saya benar?"
Di samping Maudi, Arini tampak terkekeh sebentar. "Coba beritahu aku gimana caranya berdamai dengan keadaan yang sudah terlanjur rumit dan hancur? Keikhlasan itu cuma omong kosong, Dok. Tidak ada manusia di dunia ini yang bisa benar-benar menerima dengan lapang dada atas semua kekacauan hidup yang datang menghampiri."
Maudi mengangguk pelan. Sementara di sampingnya, Arini kembali bersuara, "jadi Dokter Maudi setuju pada pendapatku? Menurutmu juga begitu, kan? Tidak ada orang yang benar-benar ikhlas di dunia ini."