Kehidupan ini memang tidak mudah. Tuhan telah menjanjikan begitu pada hamba-Nya yang beriman. Ya, bahwa manusia tidak akan dibiarkan begitu saja setelah mengakui dirinya beriman.
Itu bukan berarti Tuhan tidak sayang. Dia hanya sedang menguji seberapa besar cinta dan iman manusia pada-Nya. Dia juga hendak melihat siapa yang bersungguh-sungguh dan paling baik amalnya di dunia.
Jangan dikira, pernikahan adalah akhir dari betapa sulitnya menjalani hidup. Tetapi, bukan berarti menikah menambah kesengsaraan. Hanya saja, aku merasa bahwa pernikahan adalah kehidupan yang sesungguhnya.
Ya, apalagi kini aku, Zakaria, telah resmi menjadi sang kepala rumah tangga. Maka seakan aku baru saja naik pada bahtera sederhana, bersama gadisku, Khayra, yang masih berusia dua tahun lebih muda dariku. Kini, aku adalah pemimpinnya, dan itu adalah hari dimana aku menyadari tentang kehidupan sebenarnya yang jauh berbeda.
***
Aku mengenalnya dalam waktu yang cukup singkat. Hanya tiga bulan selang pertemuan pertama di tempat kami bekerja, aku memberanikan diri melamar dan menikahi Khayra. Ia adalah gadis anggun dengan busana syar'i dan jilbab lebar yang saat kuliah dulu selalu menjadi impian dan angan masa depanku.
Entah mengapa aku cukup percaya diri saat itu dengan keadaan diriku sendiri? Khayra adalah putri seorang kyai. Aku pernah datang ke pernikahan kakaknya tahun lalu. Sungguh menunjukkan betapa terkenalnya Ustadz Hasan--Ayah Khayra--terlihat dari membludaknya tamu undangan saat itu. Mengingat itu membuatku sadar; apalah aku yang hanya seorang putra petani karet dari Sumatera Selatan sana?
Selain itu, sempat ku merasa rendah diri saat tahu pertama kali bahwa Khayra sedang menempuh pendidikan strata dua. Namun saat itu aku hanya dapat bertawakkal. Bahwa jika memang jodoh, takkan ada satu pun hal yang menjadi penghalang. Maka, perjalananku dapat menikahinya, bagai air yang mengalir deras nan indah di sebuah telaga tanpa tersumbat kotoran atau sampah yang ada.
"Kami terima niat baik antum sekeluarga dengan tangan terbuka." Satu kalimat dari Ustadz Hasan waktu itu cukup membuat hatiku lega sebab menjadi tanda jawaban terkabulnya doa. "Harta bukanlah tolok ukur kami dalam memilih menantu." Begitu prinsip yang dikatakan calon Ayah mertuaku yang nanti akan ku sebut dengan panggilan "Aba".
***
"Qabiltu tazwiijahaa wa nikaahahaa li nafsii bi dzaalik." Aku terima segala limpahan tanggungjawab atas Khayra Al Khumayra dari ayahnya, Ustadz Hasan. Tepat di hari Ahad, 20 Agustus 2017 lalu.
Hari itu, ku berikan mahar berupa cincin emas seberat 3,35 gram. Ku pasangkan di jari manisnya yang berhias hena merah nan indah. Maka saat itulah takdir kami menyatu dalam pandangan syahdu yang teriring doa-doa keberkahan dari para malaikat dan tamu undangan.
Masjid di belakang rumah Khayra menjadi saksi bisu pernikahan itu. Ya, masjid dengan nuansa kuning kecokelatan yang megah. Tempat Ustadz Hasan menjadi Imam selama kurang lebih dua belas tahun ini. Masjid Al Hikmah namanya. Terletak di pinggir jalan raya pantura di Kota Pekalongan
Masjid itu yang menjadi kenangan bunga-bunga cinta tumbuh berkembang di antara kami. Yakni di bulan Ramadhan, saat aku memutuskan rutin tarawih di sana sebelum mudik ke kampung halaman. Masjid itu pula yang menjadi tempatku sering melantunkan doa agar diberi jawaban takdir terbaik tentang Khayra.
***