“Mau makan apa, Mil?” Arya memelankan mobilnya di lajur kiri begitu tiba di deretan area restoran dekat kantor mereka.
“Oh, terserah bapak. Saya ikut aja.” Ujar Mila.
“Nggak boleh bilang terserah.” Arya terkekeh. “Kan saya belum tau makanan kesukaan kamu apa? Yang kamu nggak suka apa? Ada alergi atau pantangan, nggak? Kalau saya soalnya udah makan semua yang ada disini dan cocok semua. Jadi kamu aja yang pilih.”
Mila melihat ke arah restoran-restoran tersebut dari dalam mobil. Ia bingung juga harus memilih yang mana karena sungkan.
“Saya suka semua kok, Pak.” Jawabnya cepat. “Dan nggak ada pantangan juga. “Jadi bapak aja yang milih.”
Arya langsung tertawa cekikikan.
“Kamu itu! Kalau mau jadi VP itu harus bisa ambil keputusan cepat. Kan bahaya kalau banyakan bilang terserah.” Ledek Arya yang langsung memarkirkan mobilnya di area tersebut.
“Ah, bapak bisa aja.” Mila balas tertawa. “Kan beda konteks, Pak.”
“Tapi sikap kita dalam kehidupan sehari-hari juga menentukan, Mila.” Arya menarik handrem, memindahkan persneling ke huruf P, menutup spion samping, mematikan AC kemudian mematikan mesin mobil.
Mila hanya tertawa kemudian membuka pintu mobilnya. Ia turun menutup pintu kembali dan Arya tau-tau sudah berada di sisinya. Setelah mengunci mobil, mereka berjalan mengitari deretan restoran tersebut.
Mila lupa kalau dirinya mendadak jadi terkenal dan tiba-tiba ada wartawan yang menghadang mereka.
“Mbak Mila…mbak Mila, bisa minta waktunya sebentar?”
Mila pun terenyuh melihat sosok wartawan perempuan itu yang sedang hamil besar. Mungkin sekitar 8 bulanan.
Merasa kasihan, Mila pun menyanggupi permintaannya. Wartawan itu juga didampingi oleh seorang cameraman dibelakangnya.
“Bisa, Mba.” Ujarnya sambil tersenyum kemudian menoleh kepada Arya.
“Pak, bapak duluan aja ke dalam. Nanti saya nyusul.” Mila tak enak membuat atasannya itu menunggu.
“Nggak, Mil. Saya tungguin kamu.” Tegasnya.
Malas berdebat, Mila pun langsung bertanya kepada wartawan tersebut.
“Apa yang bisa saya bantu, Mbak?”
Cameraman langsung menyalakan kameranya dan merekam Mila. Arya minggir sebentar agar tak terekam.
“Saya nggak akan lama mbak, karena tau mbak mau makan. Saya hanya ingin konfirmasi saja benar atau tidak pemberitaan di media yang sedang beredar itu?”
Mila bisa melihat perempuan bertubuh mungil dengan perut besar itu tampak kelelahan. Peluh membasahi pelipisnya. Nafasnya tersengal-sengal. Mila berpikir jangan-jangan wartawan ini yang tadi sempat ke kantornya dan menunggu seharian kemudian mengikutinya sampai sini. Matanya terlihat tak kenal lelah.
Mila tau persis wartawan ini harus mendapatkan berita agar bisa pulang. Merasa iba, ia pun memutuskan untuk membantunya.
Mila pun menoleh ke kamera bertuliskan Pelita TV, mengangguk kemudian menjawab.
“Ya, benar!” Jawabnya mantap.
Raut wajah Arya menyiratkan harusnya dirinya tak berbicara seperti itu.
“Jadi pernikahan dan perceraian itu benar, Mbak?” Tanya wartawan itu sekali lagi.
“Iya, benar.”
“Jadi Anneth itu anak kandung dari Adam Alexander?”
“Betul.”