Jika di rumah Kamila begitu sepi, tak begitu dengan kondisi di rumah Arya. Kedua orang tuanya sampai datang dari Bogor untuk menginap. Arya memang sengaja menyuruh orang tuanya datang menemani ketiga anaknya. Terlebih si sulung yang sudah remaja lebih paham mengenai kondisi itu dan terlanjur menonton televisi.
Pria itu saat ini hanya ingin sendirian di kamarnya. Semuanya mengerti kalau pria itu sedang tak ingin diganggu. TV kamar ia biarkan menyala yang terus menayangkan berita eksklusif kasus terorisme 1985. Luka keluarga korban yang belum sepenuhnya pulih jadi harus teringat kembali.
Ia sejak tadi menenggak berkaleng-kaleng bir. Baju kerjanya saja belum diganti sejak tadi. Baru semalam wanita itu berada di kasur ini juga. Melihatnya terlelap dengan wajah cantiknya tanpa polesan make up. Baru tadi pagi juga ia bisa membelai wajah wanita itu. Tak hanya itu, kancing kemeja kerjanya yang terlepas dijahitkan dan juga dibuatkan sarapan oleh wanita itu. Hanya dalam sepersekian detik saja ia jadi membencinya.
TV menampilkan wajah dirinya saat diwawancarai wartawan yang membuat dirinya menerawang ke peristiwa siang tadi.
Shock melihat pengakuan Adam Alexander saat konferensi pers, ia keluar begitu saja meninggalkan tunangannya tanpa pamit. Ia berjalan cepat agar wanita itu tak mengejar. Begitu menoleh ke belakang dan melihat tak ada tanda-tanda wanita itu mengejar, ia pun berhenti sebentar di bawah pohon, duduk melamun sambil menyalakan batang rokoknya.
Ibu mertuanya tiba-tiba menelepon. Saat itu sebenarnya sedang tak mood berbicara dengan siapapun, tapi ia memutuskan tetap mengangkat.
“Iya, Bu.” Jawabnya.
“Arya, kamu udah lihat berita di TV?” Cecarnya.
Arya sudah menduga. Ia hanya diam enggan berkomentar.
“Benar kan feeling ibu.” Ibu mertuanya menyorocos. “Dari pertama lihat perempuan itu tuh memang ada yang nggak beres. Bukan hanya karena cerai, tapi auranya beda aja gitu. Makanya, begitu denger kamu mau nikah sama dia, kok ibu nggak suka walaupun ibu kamu setuju. Ibu tuh nggak mau cucu-cucu ibu diasuh sama dia. Kasian kan Sara, Ade dan Dino nanti juga kena imbasnya.”
Arya tetap tak bergeming.
“Terus udah tau begini gimana? Kamu tetap mau nikahin dia?” Tanya ibu mertuanya lagi.
Arya saat ini tak tau harus menjawab apa.
“Udahlah, kasian nama baik ibu dan bapak kamu nanti juga ikutan tercemar. Cucu-cucu ibu nanti malah di bully di sekolah. Batalin aja sebelum terlambat. Toh Anneth juga sudah diambil lagi sama Adam Alexander. Jadi sudah nggak ada alasan untuk kamu merasa kasihan.”
Mata Arya terbelalak mendengar itu.
“Lho, Anneth dibawa bapaknya bu?” Itu kalimat pertamanya yang keluar.
“Iya….Ini ibu lagi nonton TV. Anneth dijemput di sekolah sama kakek neneknya. Baguslah, ibu lega. Kemarin satu-satunya alasan ibu diam saja kamu nikahin perempuan itu, ya karena kasihan sama Anneth. Sekarang udah nggak ada yang perlu dikasihani lagi.”
Arya tak merespon.
“Udah, kalau kamu memang mau nikah lagi, mending sama Fanny aja. Dia udah lama lho punya perasaan sama kamu.”
Fanny merupakan adik Dara, almarhum istri Arya.
“Memang kurangnya Fanny apa, sih? Dia udah jelas dekat sama anak-anak kamu, bisa masak dan jadi istri yang baik. Kamu kok malah milih perempuan yang baru kenal nggak jelas asal usulnya.”
Arya hanya menghela nafas.
“Bu, aku harus balik kantor nanti telepon lagi ya bu.” Arya pun langsung memutus sambungannya
Ia berniat kembali ke dalam, setidaknya ia harus bertanggung jawab mengantar Mila pulang. Begitu sudah di dalam, wanita itu sudah tak ada.
“Mbak, lihat perempuan yang tadi sama saya nggak?” Arya bertanya ke salah satu pengunjung secara acak.
“Oh, yang anaknya teroris? Naik ojek tadi mas, kayaknya mau jemput anaknya.”
Temannya menimpali.
“Mas, udah mendingan sama saya aja. Nanti anak-anak mas diajak bom bunuh diri, lho! Ngeri!!!”