Arya menelungkupkan kepalanya di kasur dan terus menangis. Ia masih menggenggam erat tangan wanita yang dicintainya. Arya jadi teringat saat Mila mencurahkan semua kisah hidupnya kepada dirinya. Wanita itu meski terpuruk tapi tetap berusaha tegar.
Saat itu mereka berdua sedang duduk-duduk di rooftop rumah Arya. Mereka mengobrol apa saja mulai dari yang ringan hingga berisi curahan hati.
“Rasanya punya orang tua kandung gimana, ya?” Tanya Mila tiba-tiba.
Arya pun langsung menatap wanita itu dan bingung harus menjawab apa.
“Dulu ya, waktu aku masih kecil tuh pengen rasanya tiap bangun tidur dipeluk dan dicium ibu.” Mata Mila menerawang. “Ya, memang sih ada nenek dan bibi yang gantiin peran ibu. Tapi kayak ada yang kurang aja.”
“Sebenarnya nggak selalu menyenangkan kok, Mil.” Arya berusaha bercanda agar suasana tak terlalu tegang. “Ibuku boro-boro peluk dan cium saat bangun tidur, yang ada disiramin air kalau bangun siang.”
Arya langsung terkekeh.
“Aku sama Asri itu dididik ala militer.” Lanjut Arya. “Bangun pagi harus shubuh meski libur, terus makan harus sehat dan dihabiskan. Kita diam-diam makan mie instant, jajan di pinggir jalan atau beli junkfood, wah bapakku marah besar.”
Mereka tertawa bersama.
“Kamu tau dong jajanan anak SD tuh kan enak banget.” Sambung Arya. “Aku dulu suka banget jajan kue cubit, kue laba-laba, macaroni pedes, lidi-lidian. Eh, diaduin sama Asri langsung uang jajanku dipotong.”
“Oya?”
Mereka tertawa lagi.
“Udah gitu pulang nggak boleh malam-malam padahal aku kan cowok, ya! Beda kalau Asri.” Arya tertawa geli. “Katanya mereka nggak mau aku terjerumus ke pergaulan nggak sehat kayak alkohol, sex bebas, narkoba terus nanti kalau hamilin anak orang jadi merusak masa depan aku dan nama baik orang tua. Sampai dibilang nggak gaul sama teman-teman aku, padahal aku anak basket, osis dan nongkrong juga tiap malam minggu. Nggak boleh pacaran, sampai aku pacaran harus backstreet.”
Mereka tertawa lagi.
“Emang kamu pacaran dari kelas berapa?” Tanya Mila masih sambil tertawa. “Udah berapa kali pacaran?”
“Hmmmmm….” Arya coba mengingat-ingat. “Aku cinta monyet ngegebet cewek tuh dari kelas 5 SD tapi belum pacaran, mulai pacaran kelas 2 SMA….Total mantan aku sampai sebelum Dara sih ada 10, ya.”
“Buset!” Mila langsung terpingkal-pingkal.
“Buset kenapa?” Arya ikut tertawa. “Aku terkesan playboy, ya? Nggak, kok! Kalau lagi komitmen, ya aku orangnya setia. Jangankan komitmen, pas PDKT aja aku cuma sama satu orang itu aja, kalau nggak cocok ya mending tinggalin.”
“Ya, gapapa juga kok.” Timpal Mila.
“Dulu jaman SMA apalagi kuliah mah nggak pilih-pilih pasangan. Asal lihat ada yang cakep terus jomblo ya langsung aku deketin. Namanya juga masih labil, pikiran masih dangkal. Terus tiap putus ya klise, alasan nggak cocok baru ketauan sifat aslinya.”
Mila tersenyum.
“Tapi orang tua aku didik keras ada hikmahnya, sih.” Arya mulai serius. “Aku jadi berprestasi sampai kuliah, dapet kerjaan juga bagus. Begitu aku dewasa sih orang tua udah nggak yang begitu ngekang, tanggung jawab masing-masing. Paling dikasih saran aja kalau menurut mereka ada yang salah.”
“Itu artinya mereka sayang sama kamu.” Timpal Mila. “Kalau aku sih, om dan tante nggak ada ngekang, tapi kasih sayang juga seadanya.”
Wajah Mila menunjukkan kesedihan sambil matanya lagi – lagi menerawang.
“Mereka selalu menekankan kalau aku cuma anak angkat bukan anak kandung meski di akte tertulis demikian. Intinya mereka minta aku untuk tau diri, udah numpang hidup sama mereka ya harus membanggakan mereka juga. Mereka nggak peduli kalau misal aku sakit atau lagi sedih misalnya.” Ujar Mila lirih. “Aku ikut lomba apa, ikut ekskul apa atau kegiatan apa juga nggak peduli. Aku pulang malam juga nggak pernah ditanyain habis dari mana, sama siapa. Kadang tuh kalau denger cerita teman-teman yang suka ditelponin orang tuanya, aku juga kepengen.”
“Kalau kakek nenek kamu, Mil?” Tanya Arya.
“Kakek nenek sih baik banget, tapi aku jarang ketemu mereka. Mereka pergi disaat aku masih kecil juga.”
Mereka terdiam sejenak.
“Mungkin kalau aku clubbing, narkoba atau hamil muda mereka nggak peduli juga kali ya?” Mila bicara asal sambil tertawa. “Untungnya aku nggak suka sama dunia begitu. Lebih suka belajar dan cari kegiatan positif. Itu hiburan aku.”
Mila terdiam lagi.
“Waktu ketemu Adam terus dia ajak nikah, wah aku happy banget. Aku pikir itu puncak kebahagiaan aku setelah bertahun-tahun menderita. Eh, ternyata sama aja. Tapi setidaknya sekarang ada Anneth sumber kebahagiaan aku sekarang.”
Mila jeda lagi.
“Sama kamu.” Lanjut Mila sambil menatap Arya mesra kemudian menggenggam tangan pria itu. Arya balas tersenyum dan juga menggenggam tangan wanita itu lebih erat. “Sekarang aku ngerasain kebahagiaan lagi ditambah anak-anak kamu yang baik sama aku. Makasih, ya.”
“Aku yang makasih, sayang.”
“Kamu nyangka nggak sih……………….”
“Tuh, mulai lagi deh!” Potong Arya yang sudah tau arahnya kemana. Sudah ribuan kali Mila selalu mengungkit pertemuan pertama mereka yang tak baik.
“Nggak, maksud aku tuh rencana Tuhan indah banget ya.” Ujar Mila tertawa.
“Aku boleh jujur, nggak?”
“Boleh, dong.” Saut Mila tertawa.
“Aku jutek sama kamu itu bukan karena aku trauma sama orang baru. Tapi tau nggak apa?”