Pulang dari Istana tadi, mereka masih pulang ke rumah Arya di Lagoon Serenity. Usai makan malam, Mila hanya berdiri mematung di pinggir jendela kamar sambil menyaksikan hujan turun. Ia terus memikirkan dan masih mencerna semua kejadian yang ia alami hari ini. Masih teriang jelas perkataan presiden kepadanya.
“Tapi, Pak. Saya….eh, kami belum punya pengalaman. Mana bisa memimpin HS Grup yang perusahaannya sebanyak itu?” Protes Mila sebelum mereka bertemu wartawan tadi.
“Santai aja, Mila. Kamu kan tau sendiri kalau perusahaan sebesar itu pasti diisi oleh karyawan yang ahli dibidangnya. Karyawan juga sudah banyak, jadi sebenernya kamu nggak usah capek-capek kerja hanya mengawasi aja.”
Mila terdiam.
“Nanti kamu bisa atur sendiri kalau mau ada pergantian BOD, karyawan bahkan nama perusahaan.”
Sebelum pulang ke rumah, ia mengunjungi lapas. Yah, siapa lagi kalau bukan Hadi Setiawan. Ia tadi datang seorang diri dan menyuruh suami serta anak-anaknya menunggu di mobil saja.
Seperti yang sudah dibayangkan, reaksi pria paruh baya ini tentu saja sinis begitu melihat wajahnya.
“Wah…wah…..wah, ngapain kamu kesini? Mau pamer kalau kamu sekarang kaya raya?”
Mila yang duduk di seberangnya hanya menggeleng.
“Pertama saya mau menanyakan beberapa hal soal perusahaan.” Saut Mila datar.
“Wah kalau kamu minta tips dari saya, saya nggak akan kasih! Kamu pikir aja sendiri.”
“Yah, sayang banget ya!” Ujar Mila sinis. “Padahal anda bisa menggunakan saya untuk mengeluarkan Jessica dari penjara.”
Hadi Setiawan langsung mengernyitkan dahi.
“Kamu benar mau melakukan itu?” Wajahnya penuh harap.
Mila pun mengangguk.
“Kalau anda mau bantu saya, saya akan mengeluarkan Jessica sebelum bapak di eksekusi. Jessica juga bisa bekerja di HS….eh, sebentar lagi mau diganti menjadi AZ Corp. Diambil dari nama orang tua saya.”
Hadi Setiawan pun sepakat dan kemudian membantu apapun yang Mila dibutuhkan. Meski sesekali diselingi sindiran, ujaran sinis dan mengungkit kelakuan orang tua Mila masa lalu.
“Saya masih nggak percaya kamu anaknya Abraham dan Zuri. Masa beda banget sifatnya.” Ujarnya disertai tawa sinis.
“Ada kesamaan, kok. Anda saja yang nggak bisa melihat.” Saut Mila santai.
Hadi Setiawan tentu saja mengungkit kelakuan orang tuanya yang sudah sering Mila dengar berulang.
“Saya makasih lho, Pak.” Ujar Mila sinis setelah membiarkan pria paruh baya itu mengolok kedua orang tuanya. “Bapak sudah membuat seumur hidup saya selalu berada di titik nol atau titik terendah, tapi sekarang saya malah menemukan kebahagiaan.”
Mila masih memandangi rumput-rumput yang diguyur hujan dari jendela kamarnya. Ia mendengar pintu kamar terbuka kemudian menoleh yang ternyata adalah suaminya.
“Kirain kamu udah tidur.” Ujar suaminya mesra sambil berjalan menghampirinya.
Mila menggeleng. “Belum. Anak-anak udah tidur?”
“Belum, masih pada main. Biarin aja lah. Oiya, mereka antusias nggak sabar pindah ke rumah baru yang lebih besar ada kolam renangnya….”
“Lah, disini kan juga ada.” Mila tertawa geli.
“Ya disana kan lebih besar, ada playground, halaman luas untuk mereka main, ada mini zoo jadi mereka lupa gadget. Terus aku bisa main golf deh tiap hari, eh ada helipad juga.” Arya langsung tertawa geli sendiri karena merasa norak meski selama ini tak pernah hidup susah.
“Jadi kamu kapan mau ngajuin resign?” Tanya Mila.
“Besok.”
Mila mengangguk. Matanya masih menatap keluar jendela.
“Tapi aku takut, Sayang.” Ujar Mila lemas. “Kita belum punya pengalaman. Kamu juga tau sendiri kan kemampuan aku baru sampai mana. Apalagi ini aku diminta bertanggung jawab mengawasi puluhan perusahaan.”