Widi pikir semua hal tentang keluarganya akan baik-baik saja selamanya. Nyatanya hidup tidak bisa seperti itu, tidak bisa seperti keinginan Widi. Gadis itu masih kecil, naif dan kadang impulsif. Ia pun sedikit egois, tidur saja masih ditemani Ibu. Ia bilang, ia akan takut jika ditinggal tidur sendiri, maka Ibu hingga kini masih terus mengeloni Widi tidur. Padahal gadis itu sebentar lagi akan berusia 12 tahun, sebentar lagi ia akan lulus sekolah dasar. Tapi sikap kekanak-kanakannya masih belum hilang. Mungkin karena Widi adalah si anak bungsu.
Pukul 03.45 menit, dinihari begini pintu depan rumah diketuk seseorang. Ibu dengan cekatan bangun dan segera berjalan cepat menuju pintu, sebelum benar-benar membuka pintu, ibu mengintip lewat jendela. Untung saja lampu depan rumah terang, ibu melihat bapak di depan pintu dengan tas ransel di punggung. Lelaki berusia 60 tahun itu masih menunggu sang istri membuka pintu.
Ibu memutar kunci pintu dan membukanya, bapak masuk dengan terburu karena di luar terasa sangat dingin. Lelaki itu tumben sekali memakai topi, biasanya bapak tak pernah memakai topi sekalipun cuaca sangat panas.
"Bapak..." ibu datang menghampiri, meraih tas ransel bapak dan meletakkannya di karpet ruangan tengah. Tak lupa menyalami dan mengecup singkat punggung tangan sang suami yang baru saja pulang merantau.
Ibu heran karena bapak terus menundukkan kepalanya. "Bapak kenapa?" tanya ibu ingin tahu. Namun bapak tidak menjawab, bapak duduk di karpet, terlihat menghela nafas. Kemudian mengeluarkan dompet dari kantong celananya.
"Bengkel Bapak jual, Bu. Bapak bingung..." bapak membuka topinya. Dan saat itu ibu tampak kaget dengan mata membulat. Air mata jatuh perlahan setelah melihat keadaan sang suami yang di luar dugaannya.