Setelah bersiap-siap dan memakai pakaian yang cukup rapi, Ibu menuntun Bapak yang sulit melihat ke depan rumah. Widi masih di sekolah, dan mbak Maya pun sama, hanya ada mbak Sri yang berjaga di rumah. Tadi pagi, Widi marah dan sedikit ngambek karena memaksa ingin ikut ibu dan bapak ke rumah sakit, mengecek penyakit yang di derita bapak sebelum keadaannya semakin parah. Kalau masih bisa dicegah, ibu akan mencegahnya.
Namun, mbak Sri sekali lagi membantu ibu, memberi pengertian pada si bungsu bahwa tujuan ibu pergi adalah mengantar bapak berobat, tujuannya penting bukan untuk main, jalan-jalan atau beli es krim. Bapak butuh pertolongan segera, dan mbak Sri tahu ibunya harus berbuat apa.
"Wid... bapakmu balik, yo?" tanya Sinta yang duduk di sebelahnya. Tangannya sibuk menulis dan menyalin tulisan yang Bu Asti tuliskan di papan tulis.
"Iya," jawab Widi pelan, sambil ikut menulis seperti Sinta. Pelajaran seni budaya akan berakhir beberapa menit lagi, tugas terakhir yang Bu Asti berikan adalah membuat kerajinan menggunakan media sabun batangan. "Tadi pagi aku lihat bapakmu sama ibumu pergi, ke mana toh?" tanyanya lagi.
"Ndak tahu. Aku mau ikut nggak boleh."
"Yo pantes ndak boleh ikut, kamu kan sekolah. Sebentar lagi ujian nasional, kamu jarang bolos ceritanya kepingin bolos?"
"Bukan gitu maksudnya..." Widi merengut, ada sesuatu yang ia pikirkan. Dan gadis remaja itu, tidak ingin teman-temannya tahu bahwa alur hidupnya tengah berada di titik ketidakjelasan. Dinihari tadi, sebelum ibu menyuruh Widi untuk kembali ke kamar dan tidur, gadis itu mendengar ucapan bapak dan ibunya. Percakapan yang hanya bisa dimengerti oleh orang dewasa seperti mereka, namun, hal itu juga mengejutkan bagi anak-anak seusianya.
Flashback on~~
"Bu, Bapak berencana mau jual rumah ini. Bapak harus sembuh, supaya anak-anak bisa tetap sekolah. Di Jakarta Bapak udah nggak bisa kerja. Bengkel sudah Bapak jual, jadi kalau Bapak balik lagi ke Jakarta, Bapak bingung mau ngapain di sana."
Ibu tampak menghela nafas panjang, Ibu tahu ini cobaan baru untuk keluarganya.
"Mau dijual sama siapa, Pak? Memang ada yang mau?" tanya Ibu dengan raut pasrah. Sejujurnya, Ibu berat untuk meninggalkan rumah ini. Rumah yang sudah dihuninya selama kurang lebih hampir 11 tahun lamanya, segala hal sudah mereka lakukan di rumah itu. Lalu, sekarang bapak berniat ingin menjualnya. Mereka akan tinggal di mana setelah itu?
"Terus kita tinggal di mana nanti?" Ibu kembali bertanya. Widi yakin, dari nada bergetar sang ibu di sana, Ibu pasti tidak rela. Hanya ini satu-satunya yang mereka miliki.
"Kita akan ngontrak. Ada rumah di kampung sebelah, kita bisa ngontrak di sana, harga sewanya murah selama setahun. Dan jaraknya nggak jauh dari sekolah anak-anak." Bapak menjelaskan, yang mana kini Ibu tampak memijat pangkal hidungnya. Pening, pasti itu yang ibu rasakan saat ini.