"Jadi gimana, Bu? Apa kata dokter tadi di rumah sakit?" tanya mbak Sri yang merasa penasaran pada penyakit sang bapak.
Ibu terlihat menghela nafas setelah membawa bapak ke kursi, dan menyuruh laki-laki 60 tahun itu duduk beristirahat. Mengingat rumah sakit yang dituju tadi sangat jauh, bahkan letaknya di luar kecamatan.
"Ambilin bapakmu minum dulu toh, Nduk? Ndak sopan, orang tua baru pulang sudah kamu cecar pertanyaan begitu." Ibu mencoba menasehati mbak Sri agar menghormati ayahnya dan ibunya yang baru saja sampai.
"Kasih makan dulu, minum dulu. Setelah selesai baru kamu boleh tanya sepuasnya. Percaya sama Ibu, bapak pasti sembuh."
Mbak Sri menundukkan wajah dan mengangguk pelan, gadis itu kemudian berlalu ke dapur dan menuruti ibunya untuk memberi ayahnya makan dan minum dulu. Laki-laki itu tampak memejamkan mata dalam, merasakan nyeri dan perih serta panas yang menjalar ke kepalanya. Luka itu hanya berada di pelipis dan sekitar matanya, namun karena letaknya itu yang membuat bapak rawan merasa pusing. Rasa nyeri itu seakan membuat bapak tak mampu melakukan apa pun lagi, bapak sedih dan merasa tidak berguna di waktu bersamaan.
"Ini Pak," kata mbak Sri setelah meletakkan piring berisi lauk pauk dan air teh hangat di mug berwarna putih tulang ke atas meja. Bapak membuka mata dan menatap anak sulungnya dengan tatapan sendu.
"Bapak makan dulu ya, habis itu minum obat." Mbak Sri lantas duduk di lantai—di sebelah ibunya, menatap sang ayah dengan tatapan iba bercampur sedih. Pasti rasanya sakit, ruam itu, benjola itu, semuanya membuat satu keluarga itu bersedih.
Bapak dengan perlahan meraih piring berisi makanan tadi, kemudian menyuapi nasi ke mulutnya. Memakan makanan itu pelan, mengunyahnya perlahan hingga lolos ke kerongkongannya. Begitu hingga habis tak tersisa.
Mbak Maya keluar dari kamar setelah menyadari bapak dan ibunya selesai beristirahat.
"Bu," panggil mbak Maya dengan wajah masam.