Setelah menjalani diskusi panjang dengan anak-anak dan juga istrinya, Pak Rahman pada akhirnya memutuskan untuk tetap menjual rumah yang saat ini dihuninya. Penyakit bapak belum kunjung sembuh, butuh biaya banyak untuk meneruskan berobat jalan ke rumah sakit. Dan satu-satunya jalan yang saat ini bisa bapak tempuh adalah dengan menjual rumah.
"Mbak, nanti kalau rumah dijual. Temen-temen aku gimana?" Widi dengan polos bertanya.
"Ya ndak bakal kenapa-kenapa toh, Wid. Memangnya kalau kamu susah mereka bakalan nolong kamu. Lihat, bapak sakit aja mereka malah ngeledek nyumpahin mati." Mbak Sri menjawab dengan realistis. Begitulah kenyataannya, tetangga di sini tidak begitu peduli. Maklum, mereka hanya warga pindahan, bukan asli penduduk yang lahir dan besar di situ. Maka, mereka masih dianggap orang asing oleh penduduk kampung itu.
Tak terkecuali teman-teman Widi, mereka kadang mendiskriminasi Widi dan keluarganya. Dengan berbagai umpatan dan hinaan yang sering gadis itu terima di sekolah, hanya karena gadis itu seorang yang bukan asli dari sana, maka orang-orang itu dengan senang hati melontarkan berbagai hinaan, seolah Widi dan keluarganya bukan manusia.
Gadis itu kerap dihina oleh teman-teman kelasnya yang rata-rata laki-laki, mereka kerap membawa nama ibunya, fisik ibunya, dan sekarang dimulai lagi dengan penyakit sang bapak yang belum jelas. Bapak masih sering bolak-balik rumah sakit, uang hasil jual bengkel malah tidak berbekas, habis untuk berobat jalan dan menebus obat di apotek dengan harga yang tidak murah.
Gadis itu sedikit lebih kuat dibanding kakaknya—mbak Sri, Widi juga kerap dihina, diperlakukan kurang baik. Namun, gadis itu lebih kuat dan tidak cengeng. Tidak seimpulsif kakaknya yang memutuskan berhenti sekolah hanya karena bully-an. Widi sering membalas, gadis itu tidak hanya diam saja. Memangnya siapa mereka berani-beraninya mengomentari dirinya dan keluarganya? Apa Widi dan keluarganya meminta makan pada mereka si para penghina itu?
Bugh!!
Bapak memegangi kepalanya, laki-laki paruh baya itu merintih kesakitan. Dia kejang sambil memegangi kepalanya yang rasanya berdenyut keras seperti disengat listrik. Sakit dan... bapak meronta-ronta sambil memegangi kepala.
"Haduhh!!" rintih bapak.
"Bapak!" Ibu berteriak, bapak memasuki kamar dan menabrakan dirinya ke tembok berkali-kali sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit. Semua orang panik, mbak Sri, mbak Maya, dan Widi. Mereka terbelalak melihat keadaan ayahnya yang seperti sapi ngamuk.
"Bapak kenapa toh, Bu?" Mbak Sri panik. Berniat menghampiri, namun bapak semakin kencang menendang tembok dan membenturkan dirinya di sana. Ada yang bapak rasa... dan mereka semua mengetahui itu.
Setelah hampir tiga menit bapak bersikap aneh, ia pun berhenti. Bapak terduduk bersandar di dinding kamar, menghela nafas yang tersengal seperti orang habis lari marathon puluhan kilometer. Masih sambil memegangi kepalanya yang sakit, ini aneh. Baru saat ini mereka menyaksikan bapak seperti itu, bertingkah seperti ada yang menusuk kepalanya dengan tombak.