Seperti biasa, ruangan itu selalu ramai. Namun, kali ini bukanlah keramaian biasa. Meja dan kursi yang biasanya berjejer tak begitu rapi, kali ini seakan membentuk grup tersendiri yang menghiasi ruangan dengan lima persegi panjang kecil. Persegi panjang yang dikelilingi berbagai wajah dengan buku dan lembar kertas terhampar.
Pada salah satu persegi panjang di sisi kanan belakang, beberapa pemuda dan gadis duduk berhadapan. Tak seperti gerombolan pada persegi panjang lain yang entah itu berceloteh atau berdebat pelan, gerombolan pada persegi panjang ini justru hening. Seorang gadis berweater merah lembut menurunkan buku ditangannya, lalu meletakkannya pada meja dihadapannya. Gadis itu mengangkat kepala, menoleh pada barisan disekelilingnya. Dihadapannya, seorang pemuda berkacamata dengan wajah serius menatap lekat lembar ditangannya, sementara pemuda kurus di samping kiri pemuda itu menautkan kening sembari membolak-balik buku dihadapannya, seakan turut menunjukkan keseriusannya. Beralih dari kedua pemuda itu, seorang pemuda berkaos putih lengan panjang menatap bergantian buku teks tebal dihadapannya dan telepon genggam yang terletak saling berdampingan. Entah kesibukan apa yang menyita si pemuda itu, sehingga meninggalkan kesan tak serius di mata gadis bersweater merah. Sementara gadis itu menyipitkan mata penasaran, dua gadis lain disampingnya berbisik pelan. Gadis itu menoleh, mendapati kedua gadis disampingnya berkutat dengan buku tipis sembari sesekali tersenyum simpul dan melirik-lirik pemuda berkaos putih yang tengah santai itu.
Gadis bersweater merah itu Reya..., dia menghela nafas, "Oke, jadi tugas survey kita kali ini bakal dimana? Ada yang punya ide?" ujarnya memecah kasak kusuk tak jelas gerombolan kecil dihadapannya, gerombolan yang duduk melingkar berhadapan dengan meja kecil yang saling disatukan.
Seakan tersadar, gerombolan itu menghentikan aktifitas mereka dan mengangkat kepala, menoleh pada Reya yang kini tampak begitu menanti respon mereka. Beberapa saat keheningan, hingga kemudian... "Hmmm gue masih bingung nih," Ian, pemuda berkacamata yang duduk dihadapan Reya menyahut, dan menurunkan lembar berisi corat coret hasil diskusi sebelumnya.
Adre, si pemuda kurus disamping Ian mengangguk-angguk, sementara ke dua gadis disamping Reya menyuarakan persetujuan. Seakan tak ada hal lain yang dapat disampaikan anggota gerombolan itu, namun... "Gimana kita bagi-bagi kerja aja, ntar disatuin dan yang ke lapangannya tetap bareng," Ray, yang sebelumnya menoleh pada telepon genggamnya menimpali.
"Setuju...!" sahut Eva, gadis berambut ikal disamping kanan Reya.
"Ya, gitu aja," sahut Ian disertai anggukan Adre
"Gue mah ikut lo aja Ray," Maya, gadis bermata sipit itu menimpali sembari tersenyum-senyum.
Reya sedikit kesal dengan respon gerombolannya, respon yang seakan tak begitu tertarik dengan pokok pembahasan mereka. Namun, "Hmmm jadi...," Reya menghela nafas tak memperdulikan itu, kemudian mengangguk dan meraih kertas bercoretan tersebut.
--
Tuk... tuk... Reya mengetukkan jemari tangan kanannya kepermukaan meja, sementara tangan kirinya ditekuk menopang kepalanya. Reya duduk di bangku panjang itu bersisian dengan Ian, si pemuda berkacamata yang berada pada bangku lainnya di sudut ruangan, dan tampak sibuk membaca kertas yang telah disatukan. Dengan raut kesal bercampur bosan Reya menatap kosong kedepan. Namun tak lama pandangannya teralihkan oleh pergerakan dari sisi kiri belakangnya, sisi antara Reya dan Ian.
Reya menoleh, "Mau kemana lo Va, May?" berseru, pada dua gadis yang sudah berada dihadapannya, dan tampak ingin meninggalkan tempat tersebut.
"Jajan bentar, kan masih nunggu yang lain," sahut yang bermata sipit... Maya, dengan santai, sementara gadis berambut ikal.. Eva, disampingnya tersenyum tipis.
"Hmmm," Reya menyahut sekedarnya, kemudian kedua gadis itu berbalik dan berlalu menuju ujung koridor.
Maya dan Eva sudah menghilang di ujung koridor, dan Reya kembali mengetuk pelan permukaan meja, masih merasa kesal.
"Sialan! Kemana tuh manusia," Reya bergumam pelan dengan kesal.
Reya melirik telepon genggamnya yang tergeletak diatas tumpukan kertas berbundel, namun tak lama... "Iiih...! Males banget gue hubungin dia,' Reya mengalihkan pandangannya dan bergumam, masih dengan kesal.
Reya kembali melirik telepon genggamnya, "Ini karna terpaksa doang, jangan geer lo. Dasar nyebelin!" Reya kembali bergumam.
Reya meraih telepon genggamnya, yang kemudian menampilkan kontak manusia nyebelin, lalu.... "Woi lo dimana?" Reya mengetik pesan itu setelah beberapa kali tak berhasil menelfon Ray.
Menit demi menit berlalu, Reya sudah mengaktifkan dan menon-aktifkan telepon genggamnya, berharap pesan balasan muncul, namun tak terjadi. "Woi...!" kembali Reya mengirimi pesan teks.
Reya melirik-lirik ujung lorong, bergantian menoleh pada jam tangannya. Reya menghela nafas kesal, menyadari sudah bermenit-menit berlalu namun tak ada yang muncul dari sana, bahkan ke dua gadis tadi entah mengapa belum kunjung kembali.
"Dasar!" Reya bergumam.