Di sebuah ruangan tak begitu besar dengan nuansa pastel, Reya tengah berbaring sembari memeluk guling. Menggerutu menatap langit-langit kamar saat bayangan pertemuan memalukannya dengan Ray tadi bermunculan... .
"Iiih gimana ceritanya coba dia muncul di deket rumah gue?" Reya bergidik.
"Apa iya dia tinggal dekat sini?" serunya kembali.
"Mmm... masak sih?" Reya mengernyit.
"Aaah ngak tau lah," Reya berseru cukup keras.
"Kok sial banget sih gue tetanggan sama dia huuuuh," Reya mengeluh, kemudian melempar gulingnya ke sisi kiri..
Reya mengerutkan kening, belum selesai dia mengomel saat... Rrrr... telepon genggam yang berada di meja kecil sisi kanan tempat tidur bergetar. Reya bangkit meraih telepon genggamnya yang berkedip menunjukkan sebuah nama.
"Hm... Cleo?" Reya mengamati nama itu, kemudian jemarinya menyentuh layar telepon genggam dan tak lama sebuah pesan muncul mengalihkan ingatan akan perdebatan kecilnya.
"Re, gue depen rumah lo nih." pesan singkat mencurigakan Cleo muncul.
"Ngapain? tadi lo tinggalin gue," balas Reya ketus sementara dia tersenyum jahil.
"Ya sory sory...," pesan Cleo kembali muncul kali ini dengan nada sedihnya.
"Ogah," Reya bersikeras.
"Gue traktir deh," pesan Cleo muncul, tak mau menyerah.
"Hmmm hmmm...," Reya tersenyum menang, memang makanan adalah cara terbaik Cleo membujuknya.
"Oke...," Reya mengetik pesan balasannya.
Rupanya hanya perlu waktu sekejab Reya tersenyum jahil, kini dia justru berdiri dengan bosan. "Haaah...," Reya terkantuk menunggu Cleo yang tengah antri membeli mie pedas yang katanya sebagai penggila makanan pedas sebagai salah satu sajian terbaik, mie pedas yang berlokasi tak jauh dari blok rumah Reya. Reya menunggu di depan pintu masuk rumah kecil yang bagian depannya disulap menjadi kedai mie dengan halaman yang digunakan sebagai parkiran dan tengah dinominasi oleh sepeda motor.
Reya melirik ke dalam, memperhatikan Cleo yang tampak betah diantara barisan manusia tersebut. "Lama lagi woi," Reya mengetik pesan padanya, lelah menanti.
"Bentar lagi. Lo masuk lah, ngapain disitu," balasan Cleo segera muncul, memang dia juga tengah memegang telepon genggamnya
"Ogah. Padet. Cepetan deh, jangan ganjen," balas Reya asal, kesal berdiri seorang diri hanya ditemani angin malam, meski demikian Reya tetap tak sudi menanti di dalam yang cukup ramai.
"Sabar," balas Cleo membuat Reya semakin kesal.
Reya berbalik, mengalihkan bosannya menatap ke depan. Sebuah rumah cukup luas berlantai 1 dengan nuansa biru lembut berdiri diseberang jalan, rumah dengan bentangan halaman cukup luas, pohon-pohon di sudut halaman, berada dalam cakupan pagar bercat perak yang membentang membatasinya dengan jalan. Tak lama Reya memperhatikan rumah itu, seakan menjawab pikiran yang melintas di benaknya pintu putih gadingnya terbuka dan seseorang muncul. Dia menutup pintu dibelakangnya kemudian berbalik dan berjalan melintasi setapak kecil, mendekati pagar besi.