Tap... tap... Reya melangkah tak semangat di koridor itu. Reya terus melangkah kali ini menuju ruangan ke dua di sisi kanan pada koridor yang dia lalui, mengacuhkan sosok yang tengah berbincang di seberang ruangan. Sosok itu Ray, yang tengah berbincang dengan seorang pemuda, salah satu junior lembaganya. Meskipun Reya tak melihat keberadaan Ray, namun Ray justru sebaliknya.
Reya memasuki ruangan tersebut, menghampiri Cleo dan Riani yang tengah berdiskusi sembari membolak-balik sebuah buku. Krrr... Reya langsung duduk dibangku kosong di kanan Cleo, meninggalkan decitan pelan.
Cleo menoleh, "Kenapa tampang lo?" berujar heran mendapati Reya mengenakan hodie merahnya dan masker.
Riani yang berada disamping Cleo pun turut menoleh cemas. Riani mencondongkan tubuhnya kedepan, mengintip wajah pucat Reya yang juga menatapnya dengan heran. Riani segera berdiri, mengacuhkan lembar kertas dimejanya, lalu menghampiri Reya, sementara saat itu Ray memasuki ruangan dan menoleh tepat saat Riani mengulurkan tangan dan menyentuh jidat Reya.
"Ih lo panas, demam nih," Riani berseru kaget sembari menurunkan tangannya.
Reya sedikit terkejut dengan pekikan kecil Riani, begitupula Cleo yang terbelalak kaget, dan Ray yang seketika berhenti.
Cleo meraih tangan kiri Reya, lalu bergantian ke jidatnya, memastikan derjat panas, "Lo izin aja," sambung Cleo cemas.
"Ngak ah, kan ada kuis." Reya mengernyit, menyingkirkan tangan Cleo.
"Ya ampun... ngak bakal gimana-gimana juga deh. Cuma kuis doang, lagian ngak ikut sekali aja ngak bakal ngaruh apa-apa kok," cerocos Cleo.
Reya mengernyit, namun belum dia berkata...
"Kalo sakit jangan di sini," Ray berseru, membuat Reya, Cleo, dan Riani menoleh kompak.
Reya menoleh kesal, "Gue pake masker juga ngak nyebar virusnya. Huk... huk...," dan terbatuk-batuk.
"Yaelah, sana pulang. Gampang banget lo sakit," ujar Ray kembali.
Reya bersungut-sungut, "Gara gara siapa coba," sahut Reya menatap Ray.
Sementara Ray dan Reya bersungut-sungut, Maya muncul dari luar dan mengernyit curiga. Berdiri di daun pintu, beberapa langkah dibelakang Adre, namun cukup bagi Maya untuk tercengang dengan pemandangan dihadapannya. Maya semakin mengernyit heran menyaksikan kedua sosok bersitegang itu. Dia menajamkan mata, curiga. Menelisik betapa tak biasanya Ray dan Reya saling berhadapan dalam waktu cukup lama, padahal biasanya mereka paling tak suka berdekatan, bahkan ketika terpaksa harus sekelompok pun mereka selalu saling mengomel.
--
Ray berhadapan dengan seorang pemuda, junior lembaganya. Memperbincangkan isi bundel ditangannya sembari sesekali membolak balik halamannya dengan wajah serius. Hingga kemudian sekelebat misterius berhoodie merah tertangkap di ujung mata Ray, melintas dari ujung koridor, terus menuju ruangan dihadapan Ray.