Reya sudah berada didepan pagar, berdiri menyender dengan sedikit lemas. Reya menoleh-noleh, mengamati gang yang hanya dilalui kendaraan pribadi, belum tampak satupun ojek pengkolan yang biasanya lewat. Reya menoleh ke kiri, menghela nafas tak begitu bersemangat saat kemudian...
"Woi...," suara familiar itu mengusiknya, membuat Reya berpaling kesal.
Sosok dengan sepeda motor hitam yang berhenti di kanan Reya menaikkan kaca helmnya, belum sempat dia berujar... "Ngapain lo?" sahut Reya ketus.
"Lo yang ngapain? masih sakit udah disini aja," Ray menyahut.
Reya mengernyit, kembali menoleh-noleh ke ujung jalan.
"Lo mau ke kampus?" Ray menebak. "Udah, istirahat sana," lanjutnya.
Reya menoleh pada Ray, "Suka-suka gue. Ngapa atur-atur," sahut Reya kesal.
Reya menaikkan alisnya, menunjukkan kekesalannya. Seketika seakan rasa lemas yang masih hinggapinya telah terbang jauh, kini yang ada diotaknya adalah bagaimana untuk segera menghilang dari sana.
Ray menghela napas, "Oke. Karena lo udah bisa marah-marah berarti lo udah sehat haha...," batin Ray justru merasa senang Reya telah kembali seperti semula, meskipun masih ada sedikit rona pucat pada Reya.
"Ya, lo...," Ray berbalik kesal, menyadari Reya yang keras kepala dan menyebalkan meski demikian dalam kondisi tak sehat, belum selesai kalimat Ray...
Reya yang masih memasang wajah kesalnya berpaling, "Pak, pak..., ojek," melambai saat seorang pengendara ojek pengkolan melintas dari kiri jalan.
Reya menegakkan badannya, tak lagi menyender, nyaris melangkah saat si bapak ojek bergerak mendekat, sampai di sebrang, dekat pagar sebuah rumah bertingkat, dan akan berbelok kehadapannya namun kemudian...
"Lo naik ojek? Ngak usah, bareng gue aja," ujar Ray, membuat langkah Reya terhenti.
"Eh apa sih," Reya menoleh kesal pada Ray, "Bentar pak," berpaling pada bapak ojek.
"Engga jadi pak," Ray kembali berseru, membuat Reya tak jadi melangkah.
Reya menoleh kesal pada Ray, "Iya," serunya.
Sementara si bapak ojek tak jadi memutar motornya dan menoleh bergantian, bingung.
"Enggak," Ray memotong.
"Ih... apasih," Reya mendelik kesal.
Tanpa menunggu tanggapan menyebalkan Ray, Reya berbalik, kembali melangkah, namun dengan sigap Ray meraih tangan kanannya, "Udah sini lo, bareng gue," seru Ray bersikeras.
"Iiih...," Reya berseru kesal.
Sebelum Reya mengajukan protes Ray menoleh dan menunjuk seorang gadis berseragam yang baru muncul dari balik pagar hijau rumah bertingkat tersebut.
"Nah, nah, itu ada yang mau naik sama bapaknya," dia berseru pada si bapak ojek yang langsung menoleh mencaritahu.
"Mau naik ojek kan mba?" sambung Ray pada gadis berseragam itu dan disambut raut heran gadis itu.
"iya, tuh bapaknya nungguin," Ray menunjuk si bapak ojek yang kebingungan.
Reya yang terheran, "Eh mba...," berseru pada gadis berseragam itu, namun gadis itu sudah duduk di kursi penumpang dan si bapak ojek yang kebingungan telah mengambil keputusan, melajukan sepeda motornya, meninggalkan Reya dan Ray.