Reya menumpuk beberapa buku dikedua tanggannya, membawanya dengan hati-hati. Reya berjalan menuju pintu kelas, lalu berbelok pada koridor tepat saat Ray muncul dan akan memasuki kelas. Reya yang terkejut dengan kemunculan Ray berhenti, begitupula dengan Ray.
Seakan baru kali ini berhadapan, kekakuan yang jelas menghadang. Reya menatap dalam diam, seakan benaknya dipenuhi pertanyaan yang tak dia limpahkan, hanya mengutarakan dalam bahasa hening. Sementara itu Ray juga terdiam, dia menghela nafas, beberapa saat kemudian memecah kebekuan. Ray membuka mulut, namun belum sempat mengutarakan apapun dengan wajah kesal Reya berlalu, seakan Reya tak ingin melihat Ray, ataupun mendengar apapun dari Ray.
Sementara Reya berlalu, larut dalam pikirannya, melewati orang-orang yang berada dikoridor itu, Ray berbalik dan menatap heran. Ray turut larut dalam benak, mempertanyakan hal aneh apa yang telah membuat Reya diam. Suasana dingin yang menjalar dan memancarkan keanehan, seakan menyihir sekeliling, tak hanya Reya dan Ray berada dalam lingkaran keanehan, sesosok lain turut berada disana. Beberapa langkah dibelakang Ray, Maya berdiri mendekap kedua tangannya, menyaksikan ketegangan antara Reya dan Ray.
Tap... tap..., langkah Reya masih berlanjut, menyusuri koridor kanan gedung fakultas. Koridor yang menjadi jalur alternatif lain menuju gedung dan berhadapan dengan lapangan parkir mobil. Reya terus berjalan pada sisi kiri menuju bangunan kecil disamping gedung fakultas. Tak lama Reya telah beralih berjalan diantara deret rak-rak tinggi. Reya menyusuri jalur itu, melangkah menuju tangga dihadapanya, tangga yang menghubungkan ruangan ber-rak tinggi itu dengan ruangan lainnya ditingkatan selanjutnya.
Beberapa langkah sebelum Reya mencapai anak tangga terbawah, beberapa gadis muncul, melangkah cepat setengah berlari dari lantai atas. Heboh tertawa dan berbincang entah apa, dan bruk... menabrak Reya, hingga membuat Reya goyang dan buku-buku berat ditangannya jatuh. Para gadis itu mendesah kesal saat Reya menoleh pada mereka, kemudian mereka melangkah pergi, bukannya membantu Reya memungut bukunya ataupun meminta maaf. Reya mengernyit, berdiri, dan melanjutkan langkahnya. Menyusuri tangga yang berkelok itu, terus menyusuri blok-blok meja dan kursi disudut-sudut, yang berbatas rak buku rendah, bergerak lurus menuju sebuah meja panjang dengan seorang ibu gemuk berkacamata dibaliknya.
Reya meletakkan buku ditangannya dimeja panjang tersebut saat si ibu menoleh, seakan menyadari kehadirannya. Mata si ibu menyoroti buku-buku tersebut, lalu tangannya yang gemuk meraihnya satu persatu, mulai berkonsentrasi membalik halamannya, lalu piiip... suara pelan dari komputer dibalik meja terdengar samar. Si ibu sudah selesai dengan buku-buku tersebut, dia menyentuh kacamatanya, lalu mendehem ringan. Reya berbalik, meninggalkan meja panjang dan si ibu gemuk. Reya kembali menyusuri blok-blok meja dan kursi, menyusuri rak-rak tinggi penuh buku.
Beberapa saat setelah itu, kini Reya menyusuri koridor menuju kelas. Baru saja Reya memasuki pintu kelas, Reya kembali terhenti. Maya berdiri hanya terpisah beberapa langkah, dia kemudian berjalan, terus, melewati Reya dengan tatapan tajam.
"Re...," Riani berseru, mengenyahkan bayangan Maya.
--
Ray berbalik, "Abis kemaren dia marah-marahin gue, pergi gitu aja, sekarang dia diem. maunya apa sih?" Gumam Ray menatap punggung Reya yang menjauh.
Ray masih berdiri disana, "Jangan-jangan efek dia abis sakit?" Ray kembali bergumam.
Sementara Ray sibuk dengan tebakannya, Maya mengernyit heran seakan menyuarakan... "Bisa-bisanya Ray tetap memperhatikan Reya yang kembali menunjukkan sikap menyebalkannya." Maya hendak melangkah mendekat, namun...
"Kalian berantem lagi?" Adre muncul dari dalam kelas. Dia mendongak dan berujar langsung, seakan dia sudah mengamati Ray dan Reya sedari tadi.
Adre bergeser, bersandar di daun pintu, "Yah... percuma dong gue bantuin kalian." Adre mengeluh, menggeleng-gelengkan kepala.
"Bantu?" Ray menoleh.
Adre menoleh, "Buku...," memajukan kedua tangannya seolah-olah memegang sebuah buku.
Ray membulatkan mata, "Nah elo ni biang gara-garanya dia kesel ke gue," berseru kesal.
"Lah, malah nyalahin gue," Adre berbalik kesal.