Nona Yang Ingin Ditemukan & Tuan Yang Lelah Mencari

Talu Bumi
Chapter #2

Nona yang Merasa Tahu Segalanya

Sebelum masuk ke fase muram, kita kembali ke kondisi saat dunia dalam keadaan baik-baik saja. Kota Jakarta. Penghujung 2019.

Namanya Nyala. Penampilannya selalu menyala. Tapi tabiatnya amat jauh dari itu. Nyala termasuk spesies makhluk pemalu. Ia hanya ramai dengan orang-orang terdekatnya. Masalahnya, sejauh ini, ia tidak punya orang-orang terdekat kecuali keluarganya. Orang akan menduga, Nyala berpenampilan seperti itu, agar sesuai dengan namanya. Atau justru kompensasi, menutupi karakternya yang pemalu. Tapi kalau ada yang bertanya langsung pada Nyala, ia akan menjawab; ia suka warna-warna terang. Warna terang membuatnya “hidup”. Seakan ia menyerap energi itu, membuat hari-harinya jadi lebih bersemangat. Sesimpel itu. Tapi tetap ada saja orang yang mempertanyakan statement-nya itu. Bagaimana mungkin, seorang yang pemalu, memilih warna-warna terang, yang akan mencuri perhatian orang. Menjadikannya pusat perhatian.

Biasanya percakapan itu berhenti, saat Nyala bertanya; apa orang pemalu, harus memakai warna kelabu?

Nyala bekerja di sebuah coworking space. Ia bertugas di bagian depan, menerima tamu, mencatat jam kedatangan, sekaligus mengantarkan ke ruangan yang dipilih tamu. Nyala menikmati pekerjaannya itu. Ia tahu, orang-orang yang datang ke situ, adalah orang-orang produktif dan kreatif. Perusahaan start-up, freelancer, bahkan mahasiswa dan siswa. Mereka butuh tempat untuk bercakap, berdiskusi atau justru tempat untuk mencari inspirasi. Karena ada spot-spot di pojokan, yang nyaris selalu terisi. Nyala merasa jadi bagian dari proses kreatif itu. Nyala merasa penting. Semacam kebahagiaan kecil, di tengah pekerjaannya yang sebenarnya membosankan.

Tapi Nyala tidak pernah bosan di situ. Ia bisa mengakses internet tanpa batas. Ia juga punya akses ke perpustakaan mini yang ada di coworking space itu. Nyala membaca novel juga buku tentang perjalanan. Lonely Planet telah ia baca berulang kali, walau akhirnya ia harus kecewa, karena banyak review kalau buku itu tidak update dan terlalu mainstream. Tapi buat seseorang yang seumur hidupnya nyaris berada di kota yang sama, bahkan buku yang mainstream sekalipun, jadi sebuah hiburan.

Nyala tidak pernah beranjak dari kotanya. Paling hanya ke pinggiran kota Jakarta, atau kota sekitaran Jakarta. Tak lebih. Nyala tak pernah bepergian jauh, lebih dari radius itu. Tapi ia punya cara agar ia bisa “pergi”, lompat dari satu kota ke kota lain. Dari satu negara ke negara lain. Nyala menulis kisah-kisah tentang kota, nun jauh di ujung Barat. Atau negara yang letaknya ribuan kilometer dari tempat ia tinggal. Seakan-akan ia berada di kota atau negara itu. Dalam kisah-kisahnya ia bisa jadi apa saja, di belahan dunia mana saja.  

Tiba-tiba, Lelaki Muda berdiri di depan mejanya. Lelaki awal dua puluhan, dengan kacamata bolong, entah apa fungsinya. Karena justru membuat mukanya yang bulat semakin membulat.

“Masih ada ruangan yang kosong?”

“Buat yang berapa orang?”

“5 orang.”

“Ada. Mau lihat ruangannya dulu, atau..”

“Langsung aja. Saya pesan buat dua jam.”

Nyala langsung mengetik pemesanan di komputernya.

“Atas nama?”

“Cinta.”

Nyala mendongak, memandang Lelaki Muda itu dengan tatapan menegur.

Lihat selengkapnya