Pertengahan 2020. Dunia terkena wabah pandemi sejak awal tahun. Beberapa negara menerapkan lockdown, yang lain tidak mengambil tindakan sedrastis itu. Mereka memakai istilah karantina. Orang-orang mengkarantina diri sendiri, demi kebaikan bersama. Orang-orang bekerja di rumah. Anak-anak belajar di rumah. Sebisa mungkin orang membatasi diri untuk keluar rumah. Tapi ternyata tidak semudah itu. Ada orang-orang yang tetap berkeliaran karena pertimbangan ekonomi. Polemik antara mengutamakan kesehatan atau ekonomi tak ada habisnya, seperti pertanyaan mana yang lebih dahulu, ayam atau telur.
Semua orang dipaksa untuk menjadikan rumah semesta mereka. Rumah adalah intisari. Rumah adalah tempat semuanya berpulang. Sebagian keluarga menjadi semakin dekat. Mereka jadi lebih paham akan anggota keluarganya. Lebih tahu apa saja yang ada di rumah, apa saja yang bisa dilakukan agar tidak mati bosan. Tapi sebagian lainnya, justru tertekan dengan kondisi ini. Banyak hal-hal yang tidak semestinya terbuka, malah jadi terbuka. Hal sepele menjadi hal besar. Mungkin itu perasaan amarah yang tidak tahu harus diluapkan pada siapa. Saat rumah dipaksa menjadi semesta, hanya mereka yang bisa beradaptasi, yang bisa melewati pandemi ini.
Di teras kosan Nyala, tidak ada kursi. Seakan kosan itu menyatakan tidak bersedia menerima tamu. Pacar Mbak Penguasa Teras sudah lama tidak kelihatan. Bahkan televisi tidak ada di ruang tivi. Mbak Penguasa Ruang Tivi tidak pernah kelihatan lagi di situ. Sofa ruang tivi telah diikat, seakan tidak boleh diduduki. Hanya ruang makan yang kursi meja makannya masih dibiarkan ada. Di tembok ruang makan tampak peraturan kosan.
PERATURAN KOSAN PUTERI DELIMA.
PENGHUNI KOS DILARANG BERKUMPUL DAN BERCAKAP-CAKAP DI AREA BERSAMA. PEMAKAIAN DAPUR BERGILIRAN. APABILA ADA YANG MELANGGAR AKAN DIBERI SANGSI.
TTD
HERMANSYAH.
Suasana kosan sepi.
Nyala menatap keluar jendela kamar. Warga kampung tampaknya tidak terlalu berubah. Masih terdengar suara ngobrol dan tertawa dari balik tembok pembatas. Nyala tampak kesal, apa virus benar-benar tidak mempan di kampung belakang tembok. Apa mereka begitu kebalnya. Sedangkan ia telah beberapa bulan bekerja di rumah. Demikian juga dengan teman-teman kosannya. Nyala membuka laptopnya. Tampak halaman kosong tanpa ada kalimat di file yang tengah dibukanya. Nyala lalu menggantinya dengan laman platfrom langganan film, lalu memutar sebuah film. Amelie. Film yang tak pernah bosan diputar Nyala berulang kali.
Di luar gelap. Siang berganti malam. Ada suara ketukan di pintu. 2 kali. Seperti ketukan kode. Nyala membuka pintu. Debby melongok dengan masker menutupi mulut dan hidungnya. Debby berkata lirih, “Aman.” Nyala memakai masker, lalu mengambil dompet dan ponselnya. Ia keluar kamar dan menutup pintunya perlahan. Nyala mengikuti Debby menuju tangga ke lantai tiga, rofftop. Mereka berjingkat, agar tidak menimbulkan bunyi.
Debby dan Nyala sampai di rofftop. Di sana terlihat Mbak Penguasa Teras dan Mbak Penguasa Ruang Tivi. Mereka berdua tengah menggeser sofa yang berada di bawah tempat jemuran yang berpenutup ke area terbuka yang bisa memandang langit tanpa penyekat. Debby menyeret kotak kayu, Nyala menyeret ban yang telah dimodifikasi jadi tempat duduk. Mereka meletakkannya di dekat sofa. Debby mengambil satu kursi untuk bergabung dengan yang lain. Tiba-tiba muncul Mbak Penunggu Kamar membawa dua kotak pizza. Yang lain berteriak tanpa suara; Yeayyyy.
Mereka berlima duduk sambil makan pizza. Suatu hal yang tidak akan pernah terbayangkan beberapa bulan lalu. Mbak Penguasa Teras bernama Asti, Mbak Tivi ternyata bernama Ira, sedangkan Mbak Penunggu Kamar adalah Belinda. Kondisi mengharuskan mereka bekerja dari rumah, karena pandemi ini membuat mereka tidak bisa kemana-mana. Awal pandemi, mereka sibuk dengan ponsel dan laptop mereka masing-masing. Ngobrol atau meeting secara virtual. Hingga mereka sadar, kalau mereka perlu bicara dengan orang lain secara langsung. Bertatapan secara langsung. Respon secara cepat, tidak terjeda karena sinyal buruk. Juga bersentuhan. Entah salaman, bersentuhan tanpa sengaja atau menepuk pundak orang lain. Semua itu ternyata kebutuhan yang tidak pernah tersadari.
Lantai satu selalu diawasi Pak Kumis. Tapi tidak dengan rofftop. Awalnya Nyala memakai kursi yang sejak lama ada di situ, untuk bersantai. Berikutnya Debby ikut bergabung. Ia memakai kotak kayu –entah bekas tempat apa- yang ada di situ untuk duduk-duduk menikmati malam. Lalu suatu hari muncul Ira. Mereka bertiga mengangkat sofa bapuk yang ada di lantai dua, diletakkan di tempat jemuran yang berpenutup. Debby menyelimutinya dengan selimut tebal hingga nyaman buat diduduki. Hari berikutnya muncul Asti. Terakhir Belinda. Lengkap sudah mereka berlima. Nyaris setiap malam, mereka berlima mengadakan ritual di rofftop. Bicara tentang apa saja.
Nyala baru tahu kalau Ira ternyata bukan penggemar sinetron. Ia teller di sebuah bank. Ia menonton sinetron, karena segala kehebohan drama itu membuat perasaannya hangat. Di tempat asalnya, Ira tinggal dengan keluarga besarnya. Saat malam, para ibu, mulai dari ibunya hingga tante-tantenya berkumpul menonton sinetron sambil bergosip. Suara mereka amat ramai. Suasana kosan yang sepi, membuat Ira merasa kesepian. Ia hanya ingin menciptakan imaji, kalau ia berada di tengah keramaian keluarganya. Ira sengaja duduk di ruang tivi, karena ingin ada teman kosannya yang duduk bergabung dengannya.