Nona Yang Ingin Ditemukan & Tuan Yang Lelah Mencari

Talu Bumi
Chapter #8

Delapan Lengan Gurita

April 2021. Nyala tak jadi bepergian ke India. Pandemi masih belum usai. Tingkat kematian naik turun, tidak stabil. Seakan pasukan virus sengaja bermain-main. Menyerang saat lengah, berdiam saat manusia siaga. Manusia di penjuru dunia harus mulai membiasakan diri dengan kondisi ini. Nyala membayangkan virus ini yang aslinya dalam ukuran mikro meter berbentuk gurita dengan delapan lengan. Delapan lengan ini merayap ke segala penjuru angin. Bayangkan gurita dengan delapan penjuru mata angin. Semuanya terjangkau. Jarak antara satu mata angin dan mata angin lainnya terkena sapuan, hingga tak ada yang luput. Seperti kinerja Virus X ini, sapu bersih.

Dunia muram. Masa depan seakan suram. Tapi orang-orang masih bertahan karena iman. Walau masih terbatas dan berjarak, ibadah tetap dilakukan di tempat-tempat ibadah. Panggilan untuk ke rumah-Nya kini terasa lebih ritmis dibanding sebelumnya. Orang-orang berjalan ke arah kebaikan. Sebagian pasrah, karena ketentuan. Sebagian karena ketakutan. Manusia jadi sadar terlalu berlebih-lebihan. Pakaian berlebih jadi tak berguna, karena aktivitas lebih banyak di rumah. Demikian juga kendaraan, mau dibawa kemana. Uang juga tidak berarti karena berplesiran hal yang langka. Manusia jadi paham konsep secukupnya.

Nyala yang sedang datang bulan tiduran dengan posisi miring, menatap Asti yang tengah berdoa selesai sholat di samping ranjangnya. Asti membuka mukena lalu melipatnya.

“Nya, bagaimana kalau aku menikah sama Mas Aji?”

Nyala masih tetap tiduran sambil memegang perutnya.

“Nya.”

“Mau nikah saat begini?”

Asti bangun dari bersimpuh, melipat sajadah lalu meletakannya di bangku bersama mukena. Asti duduk di pinggir ranjang.

“Kita gak tahu kapan selesainya pandemi ini.”

“Bukannya Mbak Asti bilang, kalau nikah maunya besar-besaran. Secara Mas Aji sudah mapan juga. Biar telat asal nampol."

“Nya, aku serius.”

“Kenapa sih bahasnya sekarang. Hari pertama dapet nih.”

Nyala menutup mata. Asti menatap Nyala, tidak juga beranjak. Lima menit. Tanpa suara. Nyala membuka matanya. Asti masih dalam posisi yang sama, tampak termenung.

“Kalau aku tiba-tiba mati. Setidaknya posisi aku sudah jadi istrinya Mas Aji.”'

“Duhh, harus banget ya bahasnya sekarang? Lagian kenapa gak nikah dari kemaren-kemaren sebelum pandemi?”

“Mas Aji dan aku belum siap.”

“Apanya?” tanya Nyala dengan nada sebal.

“Mas Aji gak bisa ninggalin orangtuanya yang sudah sepuh. Aku maunya begitu nikah, kita pisah rumah sama bapak ibunya Mas Aji. Lagian Mas Aji punya rumah gak jauh dari rumah orangtuanya.”

Nyala baru tahu, ternyata ini alasan kenapa keduanya belum juga menikah, walau telah berpacaran lima tahunan. Seharusnya ada solusi. Seharusnya ada yang mengalah. Apa susahnya sih. Tapi apa yang kita pikir gampang, bisa jadi sesuatu yang tidak mudah buat yang lain. Kita tidak bisa mengukur baju untuk orang lain dengan ukuran tubuh kita. Mata Nyala mengerjap-ngerjap, masih menatap Asti.

“Solusinya gimana?”

“Aku akan tinggal sama Mas Aji dan orangtuanya.”

“Akhirnya ngalah juga…”

“Aku gak ngalah Nya. Tujuanku menikah dengan orang yang aku cintai. Aku harus ambil segala konsekuensinya. Aku menang karena tujuanku tercapai.”

Malam berlanjut lirih. Nyala mengelus tangan Asti. Asti tersenyum tipis.

 

&&&

Di resort Derawan. Kaf lompat ke laut yang ada di bawah resort. Ia berenang di antara penyu hijau. Air laut bening yang sulit untuk didefinisikan dengan kata. Langit biru cerah. Kaf naik ke resort lewat tangga tali yang terjuntai. Sesampai di papan kayu resort, Kaf menghempaskan tubuhnya. Matahari jam 10 memang memberi efek yang berbeda. Hangat tapi tidak menyengat. Payau berjalan tergesa di ujung dermaga. Ia menendang telapak kaki Kaf. Kaf membuka mata, lalu duduk karena silau.

“Sebaiknya kita balik,” wajah Payau tampak kuatir.

“Hah. Baru juga sehari.”

Lihat selengkapnya