Januari 2022. Setelah tarik ulur untuk memutuskan menikah atau tidak selama beberapa bulan, Asti berhasil meyakinkan dirinya sendiri. Asti dan Aji mendaftar daring untuk akad nikah. Asti tidak mempertimbangkan faktor pandemi ini, telah mengubah segalanya. Termasuk “antrian” untuk akad nikah. Setelah berbulan-bulan, akhirnya Asti mendapat tanggal untuk melakukan akad nikah di kantor KUA.
Kamar Nyala yang ukurannya paling besar jadi tempat untuk persiapan Asti akad nikah. Asti duduk di depan cermin setinggi badan orang dewasa, hingga bisa bercermin seluruh tubuh. Cermin itu pastinya bukan punya Nyala, tapi punya Debby yang diangkut ke situ, lengkap dengan peralatan make-up-nya. Debby sedang merias wajah Asti. Ira menyisiri rambut Asti dan berusaha mencepolnya. Belinda sibuk mendokumentasikan momen itu, memotret dengan kamera dslr-nya.
“Deb, jangan tebel-tebel ya,” Asti mulai was-was.
“Iya paling kayak aku dandan kerja..”
“Itu ketebelan Deb. Aku gak mau kayak gitu.”
“Tenang aja Mbak Asti. Gak ketebelan kok,” ucap Ira masih sibuk mencepol rambut Asti.
“Bisa gak sih Ra? Ini dari tadi kejambak terus..”
“Sudah tenang saja..”
Asti yang uring-uringan kena jepret kamera Belinda.
“Bel! Ish! Lagi ngomel dipotret.”
“Kan bisa dipilih nanti. Lagipula ini natural banget.”
Nyala duduk di kursi meja belajarnya, menatap mereka berempat. Di dekat meja belajarnya, kebaya putih Asti tergantung di teralis jendela.
“Nya, sepatunya siapin,” ucap Ira tanpa menoleh.
“Sudah.”
“Tumben diem Nya..”
“Sedihlah Nyala, kakaknya mau nikah..” ledek Ira. Asti menatap ke cermin, di sana terpantul bayangan Nyala yang duduk di belakangnya.
“Acuhin saja Mbak. Ini harinya Mbak Asti,” ucap Debby yang menatap Asti di cermin. Asti tersenyum.
Asti memandang wajahnya yang telah di make-up Debby ke cermin. Ia menoleh ke samping untuk mengecek cepolan Ira. Asti terlihat cukup puas.
“Ayo yang lain siap-siap. 15 menit lagi kita berangkat,” seru Belinda sambil memasukkan kamera ke wadahnya. Ira langsung melesat keluar kamar diikuti Debby lalu Belinda. Asti yang telah mengenakan kain, mengganti kaosnya dengan kebaya putih. Nyala membantu mengecek jatuhnya kebaya di tubuh Asti. Kini Asti bercermin sambil berdiri di depan cermin. Mematut-matutkan diri. Nyala berdiri di belakangnya, memasangkan selendang brokat putih ke kepala Asti. Tiba-tiba ponsel Asti berbunyi.
“Nya, tolong ponselku.”
Nyala mengambil ponsel Asti dan memberikan padanya. Asti menerima video call dari keluarganya. Wajah Amak menyeringai amat dekat dengan layar ponsel.
“Anak Amak…"
“Amak..”
“Itu dandanan kau begitu sajo?”
“Iyalah Mak..”
“Asti ini akad nikah kau! Pakailah mekap yang tebal saketek. Haduh, kalau kau di sini, Amak minta Etek kau tu yang dandani kau."
“Mak. Ini kan situasi prihatin..”
“Ada sajo alasan kau tu. Akad tetap saja akad. Ada yang potret-potret kau kan? Kirimlah ke Amak nanti."
“Iya Mak..”
“Asti, ingat jangan bikin malu Amak kau. Jadilah istri yang berbakti. Sudah bisa masak kau?”
“Mak, gampanglah itu…”
“Hei Asti, dengar kata Amak kau, lelaki itu perutnya harus dibikin nyaman.”
“Mak, nasehatinya nanti saja..”
“Kau ini..”
“Asti mau minta maaf sama Amak. Asti..”
Asti tersendat, kepalanya tengadah, takut airmatanya jatuh tidak tertahan. Selama kenal Asti, baru sekali ini Nyala melihat Asti begitu emosional.
“Asti..minta restu Amak..maaf kalau Asti suka bikin Amak marah..maaf kalau Asti suka melawan Amak.."
“Sudahlah, jangan kau menangis. Luntur mekap kau yang tak seberapa bagus itu. Eh ini adik-adik kau mau bicara..” Kini ponsel genggam Amak telah dipegang adik-adik Asti.
“Uniiiiiii!!!"
“Hei!”
“Mana calon suami Uni?”