Tanggal Ganjil. 15 September 2022. Kaf tengah melamun sambil mendengar musik dengan headset di kamarnya. Ponselnya menyala. Payau Calling. Kaf langsung mencabut headset dan mengangkat telpon dari Payau. Payau tak pernah mengontaknya sejak perselisihan di mobil, lebih setahun yang lalu.
“Pay, apa kabar?”
“Yogi, Kaf. Yogi…” Payau tak sanggup meneruskan kalimatnya. Ia cuma terisak. Kaf tak perlu bertanya lebih lanjut. Ada hal yang serius terjadi pada Yogi, adik Payau satu-satunya. Telpon terputus. Selang beberapa detik, masuk pesan dari Payau; Yogi meninggal. Kaf shock.
Kaf kenal dengan Payau sejak masih kanak-kanak. Kaf kelas 1 SMP dan Payau kelas 5 SD. Payau adalah anak baru di lingkungan itu. Payau yang cupu dan bertubuh kecil, sudah tentu jadi santapan para perundung. Kaf yang menolongnya. Badan Kaf yang jangkung dan besar sudah tentu membuat para perundung berpikir dua kali untuk cari perkara dengannya. Hingga Kaf dan Payau menjadi dua sahabat. Walaupun bertubuh kecil dan berusia lebih muda dari Kaf, tidak lantas Payau memposisikan Kaf sebagai big bro. Hubungan mereka setara. Payau cukup dewasa untuk anak seusianya. Sedangkan Kaf seperti anak seumurannya. Bahkan terkadang Payau terlihat jauh lebih tua pemikirannya. Saat sama-sama SMA -Payau kelas 1 dan Kaf kelas 3- orang akan menduga, Payau lebih tua.
Sampai SMP kelas 3, Payau anak tunggal. Namun saat Payau kelas 1 SMA, Maminya melahirkan adik Payau, Yogi. Payau malu bukan main, bahkan sejak Maminya ketahuan hamil. Papi Payau malah membanggakan diri ke tetangga-tetangganya. Betapa masih tokcernya dia di usia paruh baya. Awalnya Payau sama sekali tidak mau tahu tentang Yogi, adiknya. Tapi Yogi terlalu lucu untuk diabaikan. Payau jatuh sayang pada adiknya. Amat sayang. Saat Payau kuliah, ia dan keluarganya pindah rumah. Tapi hubungan persahabatan Kaf dan Payau tidak pernah putus.
Hari ini, Kaf tahu pasti betapa hancurnya perasaan Payau. Yogi meninggal saat umurnya belum genap lima belas tahun.
Kaf harus datang ke rumah Payau. Tapi masalahnya adalah ini hari ganjil dan ia adalah manusia genap. Ternyata Kaf manusia genap. Bukan manusia ganjil.
Kaf perang mulut dengan Mamah dan Nur, karena ngotot untuk pergi ke rumah Payau. Jelas Mamah dan Nur kuatir, karena tidak akan ada kendaraan yang membawa Kaf ke sana. Saat menaiki kendaraan umum, setiap orang harus menunjukkan KTP-nya. Manusia genap di tanggal ganjil jelas akan ditolak mentah-mentah. Kaf juga jelas tidak mungkin bisa pergi dengan mobil pribadinya. Plat mobilnya sesuai dengan KTP-nya, genap. Hanya boleh beredar tanggal genap. Satu-satunya cara, Kaf harus berjalan kaki. Tapi ini juga tidak aman. Karena ada petugas yang berpatroli, yang suka merazia KTP. Sungguh pandemi ini membuat histeris banyak orang. Bahkan untuk bertakziah pun, bukan hal yang mudah.
“Akan aman kalau kamu pegang surat ijin ganjil genap…” nasehat Nur.
“Mana mungkin aku mengurusnya sekarang Kak?!”
“Kamu cuma harus mengisi form dan mengirimnya online. Hasilnya juga dikirim via online. Departemen Ganjil Genap beroperasi 24 jam.”
“Bukan itu. Tapi aku gak yakin kalau di-approve. Aku gak ada hubungan keluarga dengan Payau!“
“Itu kamu tahu jawabannya. Kamu gak ada hubungan keluarga dengan Payau. Jadi biarlah Payau dan keluarga terdekatnya yang mengantarkan jenazah Yogi ke kuburan.” Mamah akhirnya angkat bicara.
“Tapi ini Yogi, Mah. Adiknya Payau. Payau, Mah!”
“Kamu mau ditangkap petugas?!! Kamu mau biarin Mama sama Kakak Ipar kamu tinggal di rumah ini tanpa lelaki?!!”
Suasana tegang. Tatal menangis.
“Kaf akan berhati-hati, Mah.”
Kaf tetap pergi.
&&&
Jalanan sepi. Kaf mencoba berjalan dengan ekspresi tenang. Sesekali ia berpapasan dengan orang berjalan kaki. Sebenarnya berjalan di trotoar bukanlah hal aneh. Karena bisa jadi pejalan kaki tidak membutuhkan naik kendaraan karena jarak yang dekat. Hanya saja, kalau ada seseorang terus berjalan, tanpa naik kendaraan sekali pun, ia bisa dipastikan “beroperasi” di tanggal yang salah. Kaf terus berusaha bersikap tenang. Walau semakin lama ia berjalan, rasa percaya dirinya semakin goyah. Kadang, saat berjalan di trotoar, ia pura-pura masuk ke halaman sebuah gedung. Tapi keluar lagi, lewat pintu keluar. Hal itu untuk mengecoh kalau ternyata ada Petugas Patroli yang membuntuti diam-diam.
Jarak 9 kilometer lumayan jauh. Tapi energi yang keluar jadi lebih besar, karena harus mengecoh, walau pun kelihatannya tidak ada Petugas Patroli. Sejak kilometer awal, Kaf telah melipat capuchonnya dan disampirkan ke tas cangklongnya. Keringatnya mengucur deras. Matahari sedang sangar-sangarnya. Kaf tidak berani melepas maskernya. Karena takut tindakannya akan memancing Petugas Patroli untuk mendekat. Padahal nafasnya telah tersengal-sengal, karena berjalan dengan memakai masker di tengah cuaca terik, bukanlah hal yang mudah.
Akhirnya Kaf sampai di gapura gang rumah Payau. Bendera kuning terpasang di situ. Beberapa pemuda tampak berjaga. Kaf langsung lemas. Segala perjuangannya akan sia-sia. Ia telah berhasil tidak menarik perhatian petugas yang berpatroli. Tapi kini, Kaf kena cegat pemuda setempat. Kaf menguatkan langkahnya. Para Pemuda mencegatnya.
“Mau kemana?”
“Rumah Payau.”
“Bisa lihat Kartu Bebas Jalannya?”
Kaf mengambil dari dompetnya kartu bebas jalan. Kartu ini semacam kartu sehat. Orang yang memegang kartu ini telah dinyatakan sehat kondisinya tidak tertular Virus X. Berlakunya kartu itu, selama 6 bulan ke depan. Berikutnya akan ada tes lagi untuk mengecek apakah pemegang kartu masih dalam keadaan sehat. Mereka yang tidak memegang Kartu Bebas Jalan dianggap dalam kondisi tidak sehat karena terpapar Virus X. Kaf memegang kartu dan menunjukkan ke arah Para Pemuda. Salah satu Pemuda mendekat, dan mengeceknya tanpa memegang kartu itu.
“Oke. Masih berlaku. KTP?”
Kaf mencoba agar tenang. Ia mencari KTP-nya di dompetnya yang tebal, karena ada beberapa kartu di dalamnya. Kaf mencari cara agar bisa lolos. Tiba-tiba..
“Dia saudaranya Payau. Biarkan masuk.”