Nona Yang Ingin Ditemukan & Tuan Yang Lelah Mencari

Talu Bumi
Chapter #13

Orang-Orang Lupa Rasanya Sedih, karena Sedih Nama Tengah Setiap Orang

Nyala kehilangan apinya. Ini adalah fase paling menyakitkan dalam hidupnya. Dulu Nyala mengira, saat Bapak meninggal kesedihannya tiada tertandingi. Karena Nyala amat dekat dengan Bapak. Karena Nyala selalu jadi anak Bapak. Karena Nyala pro Bapak, saat Ibuk minta cerai dari Bapak. Karena Nyala menemani Bapak di hari-hari terakhirnya. Karena Nyala melihat sendiri bagaimana Bapak kena serangan jantung dan meninggal di pelukannya. Karena dan karena.

Tapi ternyata tidak, kepergian Ibuk, berlipat kali lebih menyakitkan. Karena Nyala merasa selama ini selalu menyalahkan Ibuk atas keputusannya menggugat cerai Bapak, padahal ia tahu alasannya. Karena Nyala selalu menjauh saat Ibuk mendekat. Karena Nyala selalu bersikap dingin tiap Ibuk memberi perhatian. Karena Nyala melewatkan banyak hal yang harusnya ia lalui bersama Ibuk, patah hatinya saat Lelaki SMA-nya menikah, kelulusan sarjananya yang sengaja ia sembunyikan dari Ibuk. Banyak kejadian penting, yang seakan Nyala tidak mau Ibuk tahu dan ada. 

Dan sekarang, segala karena itu jadi rasa bersalah. Segala karena itu jadi; seandainya.

Asti bahkan Ira, yang jarang kontak dengan Nyala, menghubungi dan menghiburnya. Bukannya tidak menghargai. Tapi tak ada satu penghiburan pun yang dapat mengalahkan perasaan sedih, karena perasaan bersalah. Debby dan Belinda rajin mengecek Nyala, kuatir ia melakukan hal bodoh. Nyala berusaha meyakinkan pada dirinya, bahwa dalam hidup semua orang akan kehilangan orang yang mereka sayang. Nyala berusaha bangkit, karena Bapak pernah menasehatinya, jangan sampai kesedihan membawa ke keterpurukan. Nyala ingat omongan Redam tentang ada saatnya redam, ada saatnya menyala. Ia harus menyala kembali. Seperti nama yang Ibuk berikan padanya Nyala Drupadi.  

           

&&&

Rumah Kaf terasa amat sepi. Tak ada lagi suara Tatal berteriak dan berlarian sepenjuru rumah. Tak ada lagi Nur yang selalu cerewet. Mamah lebih sering duduk diam di teras, memandang jauh. Rumah berantakan, karena selama ini Nur yang merawat rumah. Alif tidak pernah pulang ke rumah. Sesekali ia menelpon Mamah bertanya kabarnya. Mereka berdua tidak membicarakan Kaf, seakan Kaf tidak ada di rumah itu. Seakan Kaf tidak pernah dilahirkan dan jadi bagian dari rumah itu. Berkali-kali Kaf meminta Mamah agar meluapkan emosinya. Kalau Mamah merasa Kaf yang menyebabkan cucu dan menantunya meninggal. Tapi Mamah selalu menjawab tidak apa-apa.

Kaf merasa amat tersiksa dengan sikap keluarganya, kehilangan pekerjaannya, hidupnya yang berantakan. Saat merasa amat terpuruk itulah Payau muncul di teras rumah Kaf. Ia tidak bertanya dan bicara tentang Tatal dan Nur. Kaf menduga kalau Payau tahu tapi memang tidak mau menanyakannya. Kaf dan Payau duduk di teras depan.

“Jadi sehari-hari ngapain aja Kaf?”

“Yaaa. Apa saja yang bisa dikerjakan. Cek genteng rumah. Betulin kursi rusak, kalau ada. Kadang berkebun. Semuanya cuma buang waktu. Sambil nunggu…aktifitas yang paling menyenangkan."

“Apa?”

“Tidur.”

“Tidur?!”

“Pay, tidur itu nikmat banget. Hilang semua masalah. Apalagi kalau mimpi yang indah. Sekarang aku sedang berusaha kendalikan mimpi. Jadi saat mimpi, aku sugesti diri sendiri. Ini mimpi dan aku yang mengendalikan.”

“Berhasil?”

“Gak selalu berhasil. Tapi lumayan. Nah kau ngapain sehari-hari.”

“Ya apa saja yang bisa dilakukanlah. Kadang antar bisnis katering Mami. Buka-buka socmed, cari peluang bisnis. Apa pun biar tidak gila.”

Keduanya tertawa. Getir.

“Ini sampai kapan ya keadaan kayak gini. Gak kangen jalan, Pay?”

“Sampai ke ujung ubun-ubun, Kaf.”

Mereka mengingat semua perjalanan yang mereka lalui. Tempat-tempat yang mereka singgahi. Tak ada satu pun yang terhubung dengan Tatal. Padahal Kaf ingin sekali bicara tentang Tatal. Mengingat kenangannya, bukan bicara tentang Tatal tapi menyudutkannya. Kaf ingin Tatal tahu kalau orang masih membicarakannya walau ia sudah tidak ada. Hingga Payau pamit untuk pulang. Payau sama sekali tidak bertanya tentang Tatal.

“Pay, kau tahu kan kalau..”

“Aku tahu.” Bibir Payau langsung terkunci. Seakan kode kalau ia tidak mau membicarakan Tatal. Mungkin Payau takut kalau Kaf akan bersedih. Padahal Kaf ingin membicarakannya.

“Tahu apa?”

“Tahu apa yang akan kau bicarakan..”

“Mulai kapan kau bisa menebak isi kepala orang.”

“Aku tidak perlu menebak isi pikiran kau, Kaf.”

“Kalau begitu, kau tahu betapa aku ingin sekali membicarakan ini..”

Kaf menekankan kata ini.

“Tatal meninggal Pay. Begitu juga Kak Nur.”

“Aku tahu.” Suara Payau serak.

“Aku ingin bicara dengan seseorang tentang Tatal. Betapa aku sangat kehilangan dia..”

Payau terpaku, tidak tahu harus bereaksi apa. Kaf tampak hampir pecah, karena emosional tapi berusaha meredamnya.

Lihat selengkapnya