Nona Yang Ingin Ditemukan & Tuan Yang Lelah Mencari

Talu Bumi
Chapter #15

Bukan Keputusan yang Mudah

Debby mendandani Nyala. Hampir dua jam, cuma untuk tampilan yang standar. Masalahnya Nyala mencoba beberapa lipstik, yang dianggap tidak sesuai dengan make up keseluruhan. Make up tipis dikomentari tidak ada bedanya. Make up tebal dikomentari sepeti Joker. Beruntung Debby dengan sabar mengarahkan, hingga “pertempuran” selesai setelah hampir dua jam. Hasil make up-an seperti itu, biasanya dilakukan Debby hanya dalam waktu 15 menit.

“Deb, aku kok deg-degan ya.”

“Kan sudah lihat foto orangnya.”

“Fotonya gak jelas. Lebih fokus ke background pemandangan.”

“Curang! Dan dia tahu muka kamu.”

“Gak juga sih. Fotoku agak nunduk gitu. Mukaku ketutupan poni.”

Debby geleng kepala.

“Kapan kalian akan video call-an?”

“Setengah jam lagi.”

“Foto ya orangnya. Penasaran seperti apa.”

“Bagaimana caranya? Masak lagi ngobrol, tiba-tiba aku potret pakai ponse?”

“Bajunya jangan pakai yang hitam…” Debby mengingatkan, saat Nyala yang sejak Ibuk meninggal lebih suka memakai warna gelap. Nyala mengangguk. Ia memakai blus abu-abu tua. Debby memakaikan syal berwarna agak cerah. Pandangan mata Debby memaksa. Nyala menyerah.

“Sudah keluar sana. Sebentar lagi nih. Makasih yaaa.”          

Nyala mendorong Debby keluar kamarnya. Lalu mengunci pintu. Nyala takut dadakan Debby bersikap kekanakan, nyelonong masuk ke kamar, hanya ingin melihat Tarung. Walau kemungkinan itu amat kecil.

Nyala duduk di depan laptop. Aplikasi “satuhati” telah dibuka. Nyala menguatkan hati, lalu masuk ruang percakapan. Tarung telah menunggunya.

“Hai Amelie!”

“Hai.”

“Sekarang nih? Aktifin tombol kameranya ya.”

Nyala menekan fitur tombol kamera di ruang percakapan. Kini layar yang biasanya berisi percakapan semacam sms atau whatsapp berganti layar seperti skype atau zoom. Kini tampak di layar, lelaki yang wajahnya ramah, senyumnya lebar. Matanya mengesankan ikut tersenyum. Rambutnya yang agak gondrong diikat sekenanya. Ia memakai t shirt putih polos. Bersahaja. Dan memikat. Nyala tertegun.

“Kok bengong?”

Nyala tambah luluh. Suaranya berat. Bulat utuh.

“Eh..enggak bengong kok.”

“Kenapa, beda ya sama bayangan kamu?”

“Gak pernah bayangin apa-apa sih. Kamu, bayangin aku kayak apa? Gak kayak bayangan kamu ya?”

“Foto kamu walau agak jauh, nunduk pula. Tapi cukup valid sih, capture kamu. Kamu seperti di foto."

“Bisa aja.”

“Eh beneran. Aku kan suka motret. Kamu seperti yang terekam di kamera. Foto dan aslinya sama.”

Nyala hanya senyum, menutupi groginya.

“Kamu lagi di mana nih? Di kamar?” tanya Kaf.

“Iya.”

Tour kamar kamu dong.”

“Kecil.”

“Kalau luas namanya lapangan bola.”

“Ih kesel.”

Nyala merajuk. Ia tak sadar kalau ekspresinya mengindikasikan perempuan yang sebal-sebal sayang pada lelakinya. Kaf tertawa. Tawa itu. Duh. Nyala rasanya ingin teriak, bisa biasa saja gak cakepnya. Huff.

“Lho ayok,” ujar Kaf.

Nyala memegang laptopnya, lalu mulai menjelaskan dari meja belajarnya, bergerak ke jendela yang mengarah ke perkampungan di belakang tembok, bergerak ke pintu, ke ranjang…

Lihat selengkapnya