Nyala tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Perasaan mana yang lebih dominan. Ia juga tak mau mencari tahu. Karena ia takut perasaannya mengerucut; ia marah karena ia benar-benar jatuh hati pada orang yang salah. Nyala juga tak merespon saat Erwan di “satuhati” mengajaknya ngobrol di ruang percakapan. Ia tak ingin apa-apa. Nyala hanya ingin waktu cepat berlalu dan ia bisa melupakan dua minggu bercakap dengan Tarung, tiga jam video call-an dengan Tarung. Semua hal manis berantakan setelah tahu Tarung adalah Kaf Permana.
Di tempat lain. Payau menasehati Kaf untuk mencolek dua orang lainnya di aplikasi “satuhati”, yang selama ini tidak ia kontak sama sekali.
“Makanya itu perlunya plan b.”
“Cadangan maksud kau?”
“Apa pun. Heh, kau mendadak ngebet kawin kan karena permintaan Mamah. Fokus di situ. Bikin cucu buat Mamah. Bukan main perasaan jatuh hati sama perempuan yang pernah kau maki-maki.”
Kaf tidak merespon.
“Kau sudah keluarkan uang untuk pendaftaran satuhati. Belum tagihan ngobrol dan video call-an 3 jam kemarin.”
“Bisa diam kau, Pay?”
“Jangan bunuh diri kau, Kaf. Aku masih butuh teman buat aku cela kayak gini,” ucap Payau lalu pergi.
“Sial!”
&&&
Sore cerah. Nyala dan Debby duduk-duduk di rooftop. Debby gelisah. Sesekali ia mengecek ponselnya. Nyala melirik Debby, sambil mengunyah kunyahan terakhir. Nyala telah menghabiskan semangkuk nasi dan sayuran sepiring. Sejak Ibuk meninggal, Nyala nyaris tidak makan mie instan. Terkadang kita teringat akan kata seseorang, dan menurutinya, setelah orang itu tidak ada. Tak lama ponsel Debby berdering. Debby bergerak cepat mengangkatnya.
“Hallo Bel? Oke. Sebentar.”
Debby mengubah whatsapp call menjadi video call.
“Kenapa?” tanya Nyala ingin tahu.
“Gak tahu nih, Belinda minta video call-an.”
Debby video call-an dengan Belinda.
“Lagi dimana Deb?”
“Biasa di rofftop.”
“Sama Nyala?”
“Iya nih Nyala..” tiba-tiba Debby memberikan ponselnya pada Nyala. Nyala menerima ponsel Debby dengan dahi berkerut.
“Hai Nyala!”
“Hei Bel.”
“Nya, langsung aja ya. Ada yang mau kenalan nih..” Belinda memberikan ponselnya pada seseorang. Nyala langsung melotot ke Debby. Ia yakin sekali, Debby telah bercerita tentang Kaf. Kini Debby dan Belinda bersekutu untuk mengenalkan seseorang.
“Hallo Nyala.”
Di layar terlihat lelaki berkulit sawo matang dengan hidung mancung, berkacamata. Nyala langsung menduga ini pasti Heru, teman Mas Amrozi, pacar Belinda.
“Hai.”
“Aku Heru, temannya Belinda.”
Nyala tersenyum kaku, bingung harus merespon seperti apa. Heru juga tampak kebingungan, ia melirik ke satu arah. Seakan minta pengarahan. Pasti Belinda. Di latar belakang Heru, lewat dua orang dengan ekspresi penasaran. Pasti gerombolan mereka. Tiba-tiba ponsel berpindah tangan kembali ke Belinda. Belinda berjalan menjauh dari gerombolannya. Terdengar ada yang berkomentar.
“Ayu, cuk!”
Belinda tersenyum.
“Gimana Nya?”
“Gimana apanya?”
“Heru. Ganteng kan. Baik lagi. Soleh."
“Memang orang cari pacar, cari gantengnya?”
“Paling gak sudah lolos saringan awal. Ganteng, baik, kerja. Walau gak kaya sih Nya. Cuma tinggal nyari kliknya aja.”