Nyala membuka hatinya seperti sebuah cawan. Terbuka tanpa saringan. Air yang tertuang, mengucur deras. Isi cawan meruah hingga ke meja. Adakah orang yang bisa menolak air yang mengucur kalau itu bernama cinta, dan cawan yang menerima bernama hati? Nyala menerima perasaan Dion sepenuh hati. Dion mengucurkan perasaannya tanpa perhitungan, hingga suatu titik ia sendiri merasa dehidrasi.
Nyala amat perhatian. Terlalu perhatian bahkan. Ia akan mengingatkan Dion untuk sembahyang, atau mengingatkan waktu makan bahkan memesankan makanan lewat daring. Tak ada pagi hari Dion, tanpa sapaan Nyala. Seakan sapaan itu telah diprogram untuk menyapa di jam-jam tertentu. Nyala tidak keberatan membantu Dion. Tentunya bukan dalam hal pekerjaan, mengingat Dion seorang akuntan. Nyala membantu segala hal-hal remeh temeh seperti mengambil laundry Dion, bahkan mengurusi tagihan listrik, atau mengurusi hadiah untuk rekan Dion, seperti parsel makanan, bunga, atau kado apa saja.
“Buat siapa tuh Nya?” tanya Debby saat Nyala membungkus kado di kamarnya.
“Ini ada timnya Dion, istrinya baru melahirkan.”
“Kamu kenal?”
“Ya, pernah ketemu lah..”
“Tapi gak ngobrol kan? Maksud aku, bukan teman.”
“Bukan teman lah, kan aku ngomong tadi, timnya Dion.”
“Kalau begitu, kenapa harus kamu yang ngurusi?”
Nyala berhenti membungkus kado.
“Memang salah Deb?”
“Bukan masalah salah atau gak. Masalah kepantasan saja. Apa yang kamu lakukan itu bukan kayak tugas seorang pacar, tapi asisten.”
Nyala menahan sebal sambil melanjutkan membungkus kado.
“Mengingatkan jadwal kegiatan, ambil laundry, bungkus kado, beli token. Pesan galon air juga?”
“Kamu lama-lama kayak Belinda deh Deb. Aku gak mau hitung-hitungan sama Dion. Dion mengantar aku pulang kantor, gak pernah mengeluh tuh…”
“Masih? Bukannya sudah jarang ya?”
&&&
“Lusa kamu bisa jemput aku gak?” tanya Nyala pada Dion yang duduk di belakang stir. Peraturan soal duduk dalam berkendara mobil telah direvisi. Penumpang boleh duduk di samping supir, dengan asumsi kalau mereka tinggal di tempat yang sama. Sementara penumpang yang memakai jasa taxi online duduk di jok belakang, seperti umumnya hal itu berlaku sebelum adanya pandemi. Lagipula siapa mau tertular dengan penumpang atau sebaliknya supir, kalau harus duduk berdampingan.
“Kayaknya ada urusan kerjaan,” jawab Dion tanpa menoleh.
“Sampai malam?”
“Ya sampai malam.”
“Aku bisa nunggu, gak pa pa kok.”
“Malam banget Nya.”
“Malamnya jam berapa?”
“Aku gak bisa pastikan.”
“Kerja kok gak ada patokannya selesai jam berapa sih. Aneh,” Nyala mulai nyinyir.
Dion tidak menjawab. Tak ada percakapan sampai Nyala tiba di kosannya.
Lusanya, Dion tidak menjemput Nyala sepulang kerja. Nyala mencoba mengontak Dion, tetapi ponsel Dion tidak aktif. Nyala kesal bukan main. Ponsel Dion baru aktif saat jam sepuluh malam. Nyala tahu karena ia memang terus memantau whatsapp Dion. Contreng satu berubah contreng dua. Sampai setengah jam, contreng dua itu tidak berubah warna jadi biru. Pesan tak juga dibaca Dion. Nyala mendatangi kamar Debby.
Debby setengah mengantuk meladeni Nyala ngomel panjang lebar. Pada akhirnya Nyala kelelahan lalu berhenti bicara.
“Nya, ngapain harus marah sih? Kan Dion sudah ngomong, kalau hari ini dia gak bisa jemput.”
“Aku kan belum bilang setuju!”
“Memang harus disetujui dulu? Lagipula dia kan sudah gak rutin jemput kamu pulang. Kenapa sekarang jadi masalah? Gara-gara omongan aku waktu itu?”
Nyala kehilangan kata. Debby memeluk guling dengan mata setengah terpejam.
“Terus ngapain dia non aktifkan ponselnya, justru saat jam pulang kantor?” tanya Nyala.
“Karena dia tahu, kamu akan telpon dia minta jemput. Padahal dia sudah kasih tahu kalau dia tidak bisa jemput hari ini."
“Kamu gimana sih, kemarin nyalahkan Dion..”
“Aku gak menyalahkan Dion. Kamu mengurusi Dion dari A sampai Z. Berlebihan menurut aku. Aku gak pernah mempermasalahkan Dion jemput kamu atau gak kan?”